BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kalau kita mengikuti awal pertumbuhannya, kawasan Menteng sejak
dulu dikenal sebagai salah satu area perumahan elite, merupakan rangkaian
perjalanan yang berhulu dari kota lama Belanda: the
old city of Jakarta (dulu Batavia),, yaitu kota di pesisir utara
Jakarta yang dibangun Belanda sejak awal kehadiran mereka di Jakarta.
Menteng
dulunya merupakan perumahan villa pertama di kota Jakarta yang dikembangkan
antara tahun 1910 dan 1918. Perancangnya adalah tim arsitek yang dipimpin oleh
P.A.J. Mooijen, seorang arsitek Belanda yang merupakan anggota tim pengembang
yang dibentuk pemerintah kota Batavia. Rancangan awalnya memiliki kemiripan
dengan model kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitektur pembaharu asal
Inggris. Bedanya, Menteng tidak dimaksudkan berdiri sendiri namun terintegrasi
dengan suburban lainnya. Thomas Karsten, seorang pakar tata lingkungan
semasanya, memberi komentar bahwa Menteng memenuhi semua kebutuhan perumahan
untuk kehidupan yang layak.
Proyek Menteng
dinamakan Nieuw Gondangdia dan menempati lahan seluas 73 ha. Pada tahun 1890
kawasan ini dimiliki oleh 3.562 pemilik tanah. Batas selatannya adalah Banjir
Kanal Barat yang selesai dibangun 1919. Rancangan Mooijen dimodifikasi oleh
F.J. Kubatz dengan mengubah tata jalan dan penambahan taman-taman hingga
mencapai bentuk yang tetap antara 1920an dan 1930an.
Sebagai kota
taman, di kawasan ini banyak dijumpai taman-taman terbuka. Yang terbesar adalah
Taman Suropati, yang terletak di antara Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro.
Kemudian terdapat Taman Lawang yang terletak di Jalan Sumenep, Situ Lembang di
Jalan Lembang, serta Taman Cut Meutia di Jalan Cut Meutia. Di kawasan ini dulu
pernah berdiri Stadion Menteng, yang kini telah beralih fungsi menjadi Taman
Menteng.
1.2 Sejarah Kawasan Menteng
Pertumbuhan Menteng pada awal abad 20 kelak adalah akibat
keterbatasan kota lama memenuhi dinamika masyarakatnya. Kota lama (sansekerta, dapat berarti fortified
place) ini dibangun di dalam tembok keliling yang berfungsi sebagai
benteng pertahanan. Dan sebagaimana layaknya sebuah kota, kota lama ini juga
dilengkapi dengan berbagai fasilitas, termasuk perumahan. Hanya saja bentuk
perumahannya tidak seperti yang kita lihat sekarang. Pejabat tinggi dan orang
penting saja yang menempati rumah tunggal /detached
house. Selebihnya tinggal dalam barak atau semacam bachelor’s
house (saat itu ada
larangan untuk membawa istri dan keluarga, atau ada kebiasaan pedagang yang
tidak membawa keluarga selama berniaga). Orang-orang Cina juga banyak yang
tinggal di dalam kota lama, bekerja untuk Belanda atau berdagang, sedangkan di
luar tembok adalah pemukiman penduduk asli ditambah beberapa ras lain seperti
Portugis dan Arab.
Sekitar tahun 1750 gubernur
jenderal Mossel mengembangkan Weltevreden (lapangan Banteng) dan mendirikan
kediamannya yang besar di tempat RS Gatot Subroto sekarang berada. Halamannya
sangat luas sampai ke Senen, dilengkapi danau buatan, gerombolan kijang dan
kebun buah-buahan. Puncak perkembangan Weltevreden terjadi pada masa
pemerintahan gubernur jenderal Daendels. Sekitar tahun 1828 ia memerintahkan
pemindahan besar-besaran gedung-gedung pemerintahan dari kota lama ke
Weltevreden. Situasi ini menunjukkan bahwa daerah selatan, atau Jakarta pusat
sekarang, dianggap aman. Gedung pemerintahan makin banyak dibangun di daerah
ini dan mendorong tumbuhnya perumahan disekitarnya.
Tahun-tahun pertengahan abad 19
sampai awal abad 20 merupakan masa stabil pemerintahan Belanda di Jakarta.
Pusat kota bergeser dari kota lama ke selatan. Weltevreden berkembang. Gambir
menjadi taman hiburan yang terkenal dengan Pasar Gambir. Jaringan jalan dibuat
dan vila-vila baru dibangun. Daerah selatan menjadi terbuka untuk pemukiman.
Menteng baru berkembang pada awal abad 20, sejalan dengan stabilitas
dan kebutuhan perumahan orang-orang Belanda pada saat itu. PAJ Moojen
(1879-1955), arsitek Belanda yang belajar di Belgia, datang ke Indonesia pada
tahun 1903, mendirikan Kunstkring dan kemudian menjadi anggota Dewan Kotapraja
dan Kondangdia-commissie. Bersama komisi ini ia mulai
merancang Menteng pada tahun 1911. Rancangan Moojen yang radial kemudian
dianggap kurang praktis sehingga pada tahun 1918 Ir. FJ Kubatz mendapat tugas
untuk menyempurnakannya. Arsitek lain, FJL Ghijsels, sejak tahun itu juga ikut
merancang Menteng termasuk sejumlah besar rumah-rumahnya.
Menteng berkembang bersama Gondangdia. Keduanya memang
dikembangkan untuk kalangan berada orang Belanda. Pemerintah kota membeli tanah
dari tuan tanah kemudian merencanakan dan membangun jaringan jalan dan
vila-vila. Untuk kepentingan ini dibentuk De Bouwploeg (“kelompok membangun”,
sekarang disebut Boplo) dengan tujuan memberikan jasa bagi orang-orang kaya
Belanda yang ingin memiliki rumah mewah di Menteng atau Gondangdia. De
Bouwploeg mempunyai kantor sendiri yang sekarang menjadi masjid Cut Meutia.
Saat itu kantor ini belum menggunakan atap kubah seperti sekarang. Orientasinya
dulu menghadap ke arah Gondangdia (jalan Cut Meutia sekarang) yang lebar dengan
vila-vila di kedua sisi jalan. Rancangan kawasan ini barangkali sesuai dengan
aksesibiltas Menteng yang dulu datang dari Weltevreden dan Koningsplein (Medan
Merdeka/Gambir). Di area ini selain gedung Bouwploeg berdiri juga Gedung
Kunstkring (eks Gedung Imigrasi) yang dapat dianggap sebagai landmark dan tanda memasuki
kawasan Menteng.
Setelah
kemerdekaan Indonesia, Menteng menjadi daerah elite di Jakarta. Banyak
tokoh-tokoh penting dan konglomerat ternama tinggal di wilayah tersebut,
termasuk tokoh proklamator Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta. Selain kedua
tokoh tersebut, yang berdomisili disini adalah Soeharto, Mohammad Natsir, A.H
Nasution, Ali Sadikin, Rosihan Anwar, Subandrio, Kemal Idris, dan Soedarpo
Sastrosatomo. Menteng juga menjadi tempat tinggal masa kanak-kanak Presiden
Amerika Serikat ke-44, Barack Obama. Beliau pun pernah menuntut ilmu di
sekolah-sekolah lokal yakni SDN Besuki dan SD Santo Fransiskus Assisi.
0 komentar:
Posting Komentar