<-----"www.gunadarma.ac.id/"----->
<-----"www.gunadarma.ac.id/"----->

Sabtu, 20 Juli 2013

bab I (pelestarian dan konservasi kawasan menteng )

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kalau kita mengikuti awal pertumbuhannya, kawasan Menteng sejak dulu dikenal sebagai salah satu area perumahan elite, merupakan rangkaian perjalanan yang berhulu dari kota lama Belanda: the old city of Jakarta (dulu Batavia),, yaitu kota di pesisir utara Jakarta yang dibangun Belanda sejak awal kehadiran mereka di Jakarta.
Menteng dulunya merupakan perumahan villa pertama di kota Jakarta yang dikembangkan antara tahun 1910 dan 1918. Perancangnya adalah tim arsitek yang dipimpin oleh P.A.J. Mooijen, seorang arsitek Belanda yang merupakan anggota tim pengembang yang dibentuk pemerintah kota Batavia. Rancangan awalnya memiliki kemiripan dengan model kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitektur pembaharu asal Inggris. Bedanya, Menteng tidak dimaksudkan berdiri sendiri namun terintegrasi dengan suburban lainnya. Thomas Karsten, seorang pakar tata lingkungan semasanya, memberi komentar bahwa Menteng memenuhi semua kebutuhan perumahan untuk kehidupan yang layak.
Proyek Menteng dinamakan Nieuw Gondangdia dan menempati lahan seluas 73 ha. Pada tahun 1890 kawasan ini dimiliki oleh 3.562 pemilik tanah. Batas selatannya adalah Banjir Kanal Barat yang selesai dibangun 1919. Rancangan Mooijen dimodifikasi oleh F.J. Kubatz dengan mengubah tata jalan dan penambahan taman-taman hingga mencapai bentuk yang tetap antara 1920an dan 1930an.
Sebagai kota taman, di kawasan ini banyak dijumpai taman-taman terbuka. Yang terbesar adalah Taman Suropati, yang terletak di antara Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro. Kemudian terdapat Taman Lawang yang terletak di Jalan Sumenep, Situ Lembang di Jalan Lembang, serta Taman Cut Meutia di Jalan Cut Meutia. Di kawasan ini dulu pernah berdiri Stadion Menteng, yang kini telah beralih fungsi menjadi Taman Menteng.
1.2 Sejarah Kawasan Menteng
Pertumbuhan Menteng pada awal abad 20 kelak adalah akibat keterbatasan kota lama memenuhi dinamika masyarakatnya. Kota lama  (sansekerta, dapat berarti fortified place) ini dibangun di dalam tembok keliling yang berfungsi sebagai benteng pertahanan. Dan sebagaimana layaknya sebuah kota, kota lama ini juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas, termasuk perumahan. Hanya saja bentuk perumahannya tidak seperti yang kita lihat sekarang. Pejabat tinggi dan orang penting saja yang menempati rumah tunggal /detached house. Selebihnya tinggal dalam barak atau semacam bachelor’s house (saat itu ada larangan untuk membawa istri dan keluarga, atau ada kebiasaan pedagang yang tidak membawa keluarga selama berniaga). Orang-orang Cina juga banyak yang tinggal di dalam kota lama, bekerja untuk Belanda atau berdagang, sedangkan di luar tembok adalah pemukiman penduduk asli ditambah beberapa ras lain seperti Portugis dan Arab.

Sekitar tahun 1750 gubernur jenderal Mossel mengembangkan Weltevreden (lapangan Banteng) dan mendirikan kediamannya yang besar di tempat RS Gatot Subroto sekarang berada. Halamannya sangat luas sampai ke Senen, dilengkapi danau buatan, gerombolan kijang dan kebun buah-buahan. Puncak perkembangan Weltevreden terjadi pada masa pemerintahan gubernur jenderal Daendels. Sekitar tahun 1828 ia memerintahkan pemindahan besar-besaran gedung-gedung pemerintahan dari kota lama ke Weltevreden. Situasi ini menunjukkan bahwa daerah selatan, atau Jakarta pusat sekarang, dianggap aman. Gedung pemerintahan makin banyak dibangun di daerah ini dan mendorong tumbuhnya perumahan disekitarnya.
Tahun-tahun pertengahan abad 19 sampai awal abad 20 merupakan masa stabil pemerintahan Belanda di Jakarta. Pusat kota bergeser dari kota lama ke selatan. Weltevreden berkembang. Gambir menjadi taman hiburan yang terkenal dengan Pasar Gambir. Jaringan jalan dibuat dan vila-vila baru dibangun. Daerah selatan menjadi terbuka untuk pemukiman.

Menteng baru berkembang pada awal abad 20, sejalan dengan stabilitas dan kebutuhan perumahan orang-orang Belanda pada saat itu. PAJ Moojen (1879-1955), arsitek Belanda yang belajar di Belgia, datang ke Indonesia pada tahun 1903, mendirikan Kunstkring dan kemudian menjadi anggota Dewan Kotapraja dan Kondangdia-commissie. Bersama komisi ini ia mulai merancang Menteng pada tahun 1911. Rancangan Moojen yang radial kemudian dianggap kurang praktis sehingga pada tahun 1918 Ir. FJ Kubatz mendapat tugas untuk menyempurnakannya. Arsitek lain, FJL Ghijsels, sejak tahun itu juga ikut merancang Menteng termasuk sejumlah besar rumah-rumahnya.

Menteng berkembang bersama Gondangdia. Keduanya memang dikembangkan untuk kalangan berada orang Belanda. Pemerintah kota membeli tanah dari tuan tanah kemudian merencanakan dan membangun jaringan jalan dan vila-vila. Untuk kepentingan ini dibentuk De Bouwploeg (“kelompok membangun”, sekarang disebut Boplo) dengan tujuan memberikan jasa bagi orang-orang kaya Belanda yang ingin memiliki rumah mewah di Menteng atau Gondangdia. De Bouwploeg mempunyai kantor sendiri yang sekarang menjadi masjid Cut Meutia. Saat itu kantor ini belum menggunakan atap kubah seperti sekarang. Orientasinya dulu menghadap ke arah Gondangdia (jalan Cut Meutia sekarang) yang lebar dengan vila-vila di kedua sisi jalan. Rancangan kawasan ini barangkali sesuai dengan aksesibiltas Menteng yang dulu datang dari Weltevreden dan Koningsplein (Medan Merdeka/Gambir). Di area ini selain gedung Bouwploeg berdiri juga Gedung Kunstkring (eks Gedung Imigrasi) yang dapat dianggap sebagai landmark dan tanda memasuki kawasan Menteng.


Setelah kemerdekaan Indonesia, Menteng menjadi daerah elite di Jakarta. Banyak tokoh-tokoh penting dan konglomerat ternama tinggal di wilayah tersebut, termasuk tokoh proklamator Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta. Selain kedua tokoh tersebut, yang berdomisili disini adalah Soeharto, Mohammad Natsir, A.H Nasution, Ali Sadikin, Rosihan Anwar, Subandrio, Kemal Idris, dan Soedarpo Sastrosatomo. Menteng juga menjadi tempat tinggal masa kanak-kanak Presiden Amerika Serikat ke-44, Barack Obama. Beliau pun pernah menuntut ilmu di sekolah-sekolah lokal yakni SDN Besuki dan SD Santo Fransiskus Assisi.

0 komentar:

Posting Komentar