<-----"www.gunadarma.ac.id/"----->
<-----"www.gunadarma.ac.id/"----->

Sabtu, 29 Oktober 2011

Bahasan Seorang Arsitek Mengenai Hukum-Hukum Dalam Pranata Pembangunan

Tahun 1999-2000. Malam-malam hari di Piscataway, New Brunswick, New Jersey, saya dan laptop IBM Thinkpad 240 yang layarnya cuma 10,4 inch, sering mengisinya dengan menulis tentang perlunya undang-undang yang mengatur profesi arsitek di Indonesia. Kita sebut saja dengan Undang-Undang Arsitek (UU-Ars).

Subyek ini bukan hal baru karena banyak senior arsitek kerap menyatakannya, tetapi saya tidak menemukan ada yang pernah menuliskannya saat itu. Sesekali, sambil menulis, saya berkomunikasi melalui telepon voip dengan sejawat arsitek di Indonesia, sekedar mencari tambahan informasi mutakhir. Selembar-dua lembar yang selesai ditulis saya email-kan ke Jakarta. Entah berapa banyak lembar yang akhirnya dikirimkan, karena yang sudah ditulis kemudian bisa saja dibahas, direvisi dan akhirnya ditulis ulang.

Tulisan di halaman ini adalah kumpulan pokok-pokok pikiran tersebut diatas, saya ringkas tanpa menghilangkan maknanya, dan saya lengkapi dengan pokok pikiran yang datang kemudian setelah kembali ke tanah air. Pada saatnya kemudian muncul tambahan yang significant yaitu bahwa UU-Ars akan menjadi undang-undang profesi yang mengatur subyek jasa konstruksi, melengkapi undang-undang yang mengatur obyeknya (bangunan gedung) dan tatacara penyelenggaraan (jasa konstruksi).

Sebagian besar pokok pikiran ini kemudian menjadi bagian dari Naskah Akademis sebuah Undang-Undang Arsitek yang saat ini akan dijadikan inisiatif DPR.

[a]
Undang-undang Arsitek (UU-Ars) diperlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas dengan cara mengatur arsitek dan praktek arsitek.

Arsitek bekerja dengan keahliannya memenuhi permintaan pengguna jasa baik itu orang perorangan, sekelompok orang maupun badan tertentu, atau masyarakat luas. Dalam hal apapun arsitek lazimnya bekerja dalam tatacara praktek yang memegang teguh etika arsitek, kaidah tatalaku yang baik, bekerja secara mandiri dan menyuguhkan layanan jasanya secara profesional. Dengan demikian arsitek diharapkan akan menghasilkan karya yang mempunyai nilai seni arsitektur yang tinggi, memenuhi kebutuhan fungsional pengguna bangunannya dan dengan tetap mengutamakan masyarakat luas sebagai kepentingan yang utama. Agar arsitek tidak lalai atau sengaja menyalahgunakan keahlian dan kesempatan yang dipunyainya, maka arsitek perlu diingatkan dan diatur melalui UU-Ars. UU-Ars ini merupakan pranata untuk membantu terwujudnya praktek arsitek yang sehat sekaligus pada gilirannya membantu pencapaian arsitektur Indonesia ke taraf yang baik dan bernilai tinggi. Hal ini sangat penting bukan untuk kepentingan arsitek melainkan lebih kepada memberikan jaminan dan garansi kepada masyarakat luas bahwa mereka akan memperoleh bangunan yang sehat, aman, nyaman dan juga indah. UU-Ars akan melengkapi berbagai hukum dan peraturan lain yang selama ini dianggap kurang tepat untuk dikenakan kepada profesi arsitek. Lebih daripada itu, selain diperlukan oleh arsitek, UU-Ars ini amat bernilai untuk dilihat sebagai pengakuan masyarakat terhadap tenaga ahli bangsa sendiri. Pada umumnya pengakuan bersifat mengenali hak-hak serta sekaligus meminta tanggung jawab atas hak yang dimiliki oleh arsitek. Dengan demikian pengakuan masyarakat terhadap arsitek akan memaksa arsitek Indonesia bekerja sekuat tenaga untuk menghasilkan karya arsitektur yang terbaik, yang kemudian pada gilirannya akan membuat iklim berprofesi menjadi sehat dan kompetitif.

[b]
Arsitek dan karyanya bukan sekedar komoditas niaga. Arsitektur berakar pada seni budaya yang tinggi dan hal ini membutuhkan pengaturan yang khas untuk dapat berkembang dengan baik. Perkembangan arsitektur di Indonesia akan menjadi cermin budaya masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

UUJK dan PP yang ada lebih bersifat teknis-administratif. Secara rinci diatur dalam PP 28, PP 29 dan PP 30/2000 tentang peran masyarakat jasa konstruksi, tentang penyelenggaraan jasa konstruksi, serta tentang pembinaan jasa konstruksi. Dalam PP 28/2000, yang dianggap paling terkait dengan profesi arsitek, berisikan aturan rinci tentang hak dan tanggung jawab penyedia dan pengguna jasa dalam hubungan kerjasama kedua pihak. Tetapi tidak ada uraian dan pengaturan tentang, misalnya, ahli apa yang kompeten melakukan pekerjaan bidang arsitektural, kompetensi seperti apa yang dibutuhkan, asosiasi mana yang boleh diharapkan menjadi tempat berkumpul dan menempa diri, dan yang lebih substansial adalah tidak adanya pengertian mendasar tentang arsitektur itu sendiri. Arsitektur telah dilihat ‘hanya’ dari produknya saja. Produk yang dihasilkan melalui pemilihan perencana, meyediakan jaminan bagi diri sendiri bahwa ia akan bekerja, dan hasilnya diukur sebagai komoditi yang harus dijaga sampai sepuluh tahun. Seperti halnya produk biasa yang dapat dijual-belikan begitu saja. Padahal, arsitek bekerja bukan hanya untuk kepentingan client-nya saja, melainkan terutama untuk ultimate client yaitu masyarakat luas. Setiap rancangan yang dibuat selalu mempertimbangkan apakah rancangan tersebut tidak merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan semangat ‘sosial’ seperti itu dapat diduga bahwa proses merancang tidak sekedar menggambar untuk menghasilkan bangunan yang kuat dan indah. Dalam mengujudkan gagasannya arsitek harus belajar bagaimana iklim setempat, bagaimana lalu lintas sekitar, apakah bangunannya menyediakan sarana sosial bagi seluruh pemakai, dan banyak hal lain yang harus diperoleh dari kebiasaan hidup setempat. Sungguh sukar luar biasa pekerjaan arsitek! Lebih celaka lagi, tanpa maksud berlebihan, proses ‘ideal’ ini merupakan standard penciptaan karya arsitektur. Dengan demikian harus ada pengaturan dan peraturan agar arsitek (Indonesia) bekerja sesuai dengan etika dan kaidah profesi seperti itu.

UU-Ars setidaknya dibuat dengan menguraikan tiga hal utama bagi arsitek, yaitu: 1) pendidikan yang diperoleh, 2) pengalaman praktek dan 3) mempunyai kompetensi profesional (termasuk didalamnya pengertian terhadap kode etik dan kaidah tata laku profesi). Melalui keutamaan ini kelak dapat diharapkan bahwa arsitek akan lebih mampu meningkatkan kualitas lingkungan binaan secara komprehensif. Suatu jawaban yang sangat terkait pada aspek kebudayaan, jauh lebih rumit daripada sekedar kalkulasi dagang dan jual-beli gambar.

[c]
UU-Ars diperlukan untuk mengakui keberadaan arsitek sebagai ahli dalam bidang pekerjaan lingkungan binaan sesuai dengan pendidikan yang diterimanya, dan memenuhi hak masyarakat untuk hidup dalam lingkungan binaan yang baik dan nyaman.

UU-Ars bersama dengan Undang-undang Jasa Konstruksi akan menegaskan kembali bahwa hanya orang yang ahli pada bidangnya yang dapat mengerjakan bidang pekerjaan tertentu. Arsitektur berhubungan dengan bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung. Arsitek mempelajari hal tersebut sejak tingkat pertama di perguruan tinggi selama sekurang-kurangnya 8 (delapan) semester. Arsitek mempelajari bagaimana menghasilkan lingkungan binaan yang baik, termasuk bangunan gedung, yang akan berfungsi baik bagi penggunanya sekaligus mempunyai nilai seni arsitektur yang tinggi. Setelah selesai sekolah, arsitek masih diwajibkan magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dibawah bimbingan arsitek senior, sebelum dirinya dinyatakan kompeten sebagai arsitek profesional. Tidak ada disiplin ilmu lain selain arsitektur yang mempelajari khusus tentang bangunan dan kelompok bangunan. Ini meliputi tidak hanya masalah ilmu teknik membangun tetapi pengetahuan pada pengorganisasian ruang, hubungan antar ruang secara tiga dimensi, hubungan antar bangunan serta sikap bangunan terhadap lingkungannya. Tidak dapat dikesampingkan pula bahwa perancangan arsitektur seperti hal diatas juga mengangkat nilai-nilai estetika yang abstrak menjadi wujud kongkrit yang bisa dinikmati oleh banyak orang seperti bangunan yang indah, warna yang menawan dan gaya bangunan yang menyenangkan.

[d]
UU-Ars menjadi salah satu alat untuk mensejajarkan diri dalam tata pergaulan dan dunia profesi arsitek internasional dengan menggunakan nilai-nilai dan kelaziman yang berlaku.

Pada tahun 1997 telah diadakan kongres arsitek dan pendidikan arsitektur di kota Darwin, Australia. Kongres tersebut dihadiri oleh 12 negara yang pantainya dibasahi oleh samudera Pasifik, termasuk Indonesia. Tercatat pada kongres itu bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara peserta yang belum mempunyai Architect Act.
1999, Beijing, UIA –organisasi arsitek dunia- sepakat menerima UIA Accord and Guidelines untuk profesi arsitek. Kesepakatan ini merupakan langkah besar yang memberikan kriteria universal tentang peran pendidikan arsitektur dan kompetensi profesional arsitek. Kesepakatan tersebut berhasil diujudkan melalui proses panjang selama lebih dari 3 tahun, dan diarahkan untuk kesiapan arsitek menghadapi pasar terbuka globalisasi.
Pada tahun 2001, di Singapura dilaksanakan forum tahunan ARCASIA yaitu forum organisasi arsitek dari seluruh negara Asia. Hadir 16 negara dan kembali Indonesia tercatat sebagai satu-satunya negara Asia yang belum mempunyai Architect Act.
Indonesia juga telah ikut aktif kegiatan WTO dalam lingkup GATT, khususnya dalam hal ini GATS –General Agreement on Trade and Services- dan diikuti oleh AFTA melalui AFAS –Asean Free trade Area on Services. Kesepakatan dunia dan regional dalam pasar terbuka dimana jasa arsitek termasuk didalamnya.

Ilustrasi diatas dapat menggambarkan bagaimana pentingnya Indonesia mempunyai peraturan yang setara dengan negara lain. Perjanjian bilateral maupun multilateral cepat atau lambat akan terjadi dan bila hal itu menjadi nyata, maka Indonesia harus siap dengan peraturan yang kuat, sah dan berlaku nasional. Hampir mustahil, misalnya, membuat pengaturan bagaimana arsitek asing berpraktek di Indonesia hanya dengan aturan dari Ikatan Arsitek Indonesia. Negara dan masyarakat perlu mengakui secara legal-formal apa dan siapa arsitek tersebut sebelum bisa menghasilkan tata cara kerja arsitek. Dari sudut pandang ini keberadaan UU-Ars adalah sangat penting.

[e]
UU-Ars diperlukan sebagai usaha untuk turut menghidupkan institusi demokrasi di Indonesia. Perlindungan terhadap pengguna jasa arsitek layaknya berlaku timbal balik antara pengguna jasa dengan pemberi jasa.

Selain beberapa Undang-undang yang terkait dengan arsitek (UU 16/1985 tentang Rumah Susun, UU 4/1992 tentang Perumahan Permukiman, UU 24/1997 tentang Penataan Ruang dan UU 18/1999 tentang Jasa Konstruksi) ada sebuah Undang-undang yang sangat penting untuk dilihat yaitu Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Walaupun UU ini sifatnya sangat umum tetapi didalamnya terdapat pasal-pasal tentang jasa. Konsumen umum dilindungi oleh UU dalam hal memperoleh barang dan jasa. Profesi arsitek adalah profesi penyedia jasa yang dapat dimasukkan kedalam kategori tersebut. Bila terjadi mal-praktek dalam menyediakan jasanya, arsitek dapat dituntut oleh pengguna jasanya. Dengan demikian arsitek memerlukan perlindungan yang sederajat dengan UU Perlindungan Konsumen tersebut. Dalam hal ini UU yang diperlukan bukanlah untuk membela diri, tetapi mengatur secara rinci bagaimana jasa arsitek dapat diselenggarakan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan ‘kerugian’ pada penggunanya. Melalui kedudukan hukum yang setara terhadap kedua belah pihak maka akan diperoleh iklim berprofesi yang kondusif dan pengguna jasa memperoleh perlindungan secara semestinya.

Sejalan dengan program reformasi, adanya UU-Ars juga akan mendukung semangat keterbukaan, terutama dalam informasi kepada masyarakat. Setiap orang dapat mengetahui secara rinci bagaimana, dan apa yang layak diperolehnya, bila menggunakan jasa arsitek. Hal yang saat ini kerap kali diterjemahkan secara subyektif baik oleh pengguna jasa maupun oleh arsiteknya sendiri.

[f]
Menegaskan siapa yang berhak melakukan praktek arsitek.

Uraian ini agak bersifat teknis untuk memberikan gambaran secara umum bagaimana arsitek bekerja dan kompetensi seperti apa yang dibutuhkan. Mohon juga uraian ini tidak dicampur-adukkan dengan pekerjaan, misalnya, penambahan kamar tidur sebuah rumah, yang dapat dibangun dengan sederhana. Walaupun demikian, pekerjaan seperti itu diyakini akan memperoleh hasil yang lebih berkualitas bila menggunakan jasa arsitek dibandingkan dengan hanya mengandalkan diri pada tukang batu dan tukang kayu.

Setelah arsitek ditetapkan untuk menjadi penyedia jasa (melalui penunjukan langsung, sayembara maupun penilaian proposal) maka berbagai tugas pertama akan segera dijalankan. Arsitek, dibantu oleh berbagai profesi lain terkait, akan mengumpulkan data-data teknis antara lain: peta lokasi, kondisi tanah, iklim setempat, infra struktur yang tersedia, pola lalu lintas sekitar dan peraturan bangunan. Bila penetapannya tidak langsung dilakukan untuk merancang, maka ia akan melakukan survey dan atau studi banding untuk menyiapkan feasibility study. Selain data teknis, ia juga harus mengetahui peraturan membangun, ketersediaan teknologi dan bahan bangunan, visi dan misi pengguna jasanya, kebiasaan pengguna bangunan, sampai tujuan perancangan. Pengumpulan data-data ini tidak linier tetapi berjalan berkesinambungan selama proses persiapan dilakukan.
Setelah dianggap cukup, proses perancangan dimulai dengan tahap conceptual design. Tahap dimana arsitek mencoba menyampaikan gagasan dan apresiasinya terhadap perancangan tersebut. Tahap ini umumnya berisi arah dan konsep perancangan untuk memenuhi kebutuhan pengguna jasa. Setelah tahap ini disetujui, dilanjutkan dengan tahap preliminary design. Arsitek mulai menawarkan bentuk-bentuk nyata melalui sketsa-sketsa, gambar perspektif maupun maket perancangan. Walaupun sifatnya preliminary, arsitek sudah mulai mempertimbangkan sistim struktur, sistim mekanikal dan elektrikal yang akan dipakai, pilihan teknologi dan bahan serta perkiraan biaya bangunan. Kembali setelah memperoleh persetujuan dari pengguna jasa, tahap ini dilanjutkan dengan tahap design development. Tahap dimana semua aspek perancangan disiapkan dengan rinci dan digambar dengan lengkap. Banyak keputusan sudah dianggap final dalam tahap ini, karena segera akan diteruskan dengan penyiapan construction documents. Tahap dimana seluruh dokumen siap untuk digunakan dalam proses konstruksi. Gambar-gambar dari seluruh disiplin, spesifikasi teknis dari bahan dan teknologi yang digunakan, serta perkiraan biaya bangunan yang sangat rinci. Mohon juga jangan dianggap seluruh tahap tersebut berjalan linier karena proses perancangan selalu berjalan ‘bolak-balik’ agar tercapai kualitas perancangan yang konsisten. Bayangkan, misalnya denah lantai bangunan dirubah pada tahap design development. Arsitek harus kembali sampai konsep awal apakah perubahan ini masih menjawab masalah perancangan semula. Seandainya hal ini terjadi pada rancangan bangunan delapan lantai, perubahan seperti ini akan merubah begitu banyak rancangan dan bukan tidak mungkin menyia-nyiakan ribuan jam kerja dan ratusan gambar.
Tahapan pekerjaan arsitek yang rumit! Ditambah peran mengkoordinasi berbagai profesi lain seperti antara lain struktur, mekanikal, elektrikal, interior dan landscape. Koordinasi ini wajib dilakukan agar perancangan dapat berjalan sesuai jadual, menghasilkan rancangan yang berkualitas dan tidak bermasalah saat mulai dibangun. Selain itu, pada masa konstruksi, arsitek wajib melakukan pengawasan berkala untuk memastikan bahwa rancangannya dibangun dengan sempurna. Pengawasan berkala ini diluar pengawasan sehari-hari yang sifatnya memeriksa bahwa konstruksi dilakukan tepat seperti gambar dan spesifikasi teknis.

Demikian uraian singkat mengenai arsitek melakukan tahap-tahap pekerjaannya. Secara ideal seluruh tahap tersebut diatas dilakukan untuk berbagai tipe bangunan, sejak bangunan rumah tinggal sampai kompleks bangunan pecakar langit.

Melihat kompleksitas perancangan dan tanggung jawab berat yang dipikul, jelas bahwa praktek arsitek tidak dapat dilakukan oleh sembarang ahli. Ahli itu haruslah mempunyai latar belakang pendidikan arsitektur, pengalaman kerja (makin banyak pengalaman makin tinggi keahliannya) dan kompetensi profesional. Hal-hal inilah yang harus diakui secara legal-formal melalui UU-Ars. Pengakuan terhadap profesi arsitek.

Dengan pertimbangan tersebut diatas, maka usul tentang bentuk UU-Ars dan atau PP-Ars sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Tentang sosok arsitek
- Siapa yang disebut arsitek
- Apa yang dilakukan arsitek
- Bagaimana hak dan tanggung jawab arsitek
- Kode etik dan kaidah tata laku

2. Tentang keahlian arsitek
- Kompetensi dasar arsitek
- Sertifikat keahlian
- Proses sertifikasi keahlian
- Pentingnya pengalaman kerja

3. Tentang lembaga penilai keahlian arsitek
- Apa yang dilakukan lembaga penilai
- Bagaimana lembaga itu dibentuk
- Siapa anggota lembaga
- Bagaimana lembaga melakukan penilaian
- Bagaimana lembaga menetapkan hasil penilaian
- Banding terhadap hasil penilaian

4. Tentang perilaku disiplin dan sanksi
- Standar kerja profesional
- Kewajiban untuk berlaku profesional
- Sanksi untuk pelanggaran dan kelalaian

5. Tentang usaha praktek arsitek
- Praktek perorangan
- Praktek perusahaan/gabungan perorangan

——————-
Bahan bacaan/referensi:
- Undang-undang No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi
- PP 28, 29 dan 30/2000 tentang Jasa Konstruksi
- Undang-undang No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung
- Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen
- Undang-undang tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual
- UIA Accord for Professional Practice, 1999
- Architects Act 1991, Victoria
- Architects Act 1991, Singapore
- Architects Act 1997, United Kingdom
- Architects Practice Act 2000, California
- Architects Practice Act 2000, New York
- The Architects, Spiro Kostoff, 1969
- Professional Practice 101, Andy Pressman, 1997
- The Architect’s Handbook of Professional Practice, AIA, 1996

Continue Reading...

Peninjauan Kembali UU no.4 Dengan Pola Pemukiman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1992
TENTANG
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakikatnya
adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan
permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan
merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan
martabat mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa dalam rangka peningkatan harkat dan martabat,
mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap
keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan
permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu
terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu,
terarah, berencana, dan berkesinambungan;
c. bahwa peningkatan dan pengembangan pembangunan
perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek
permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu
kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan
ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan
nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup,
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia
dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;
d. bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan keadaan, dan oleh karenanya
dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai perumahan dan permukiman dalam Undang-
Undang yang baru;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga;
2, Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan;
3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana
dan sarana lingkungan yang terstruktur;
5. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya;
6. Sarana lingkungan adalah fasililas penunjang, yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan penqembangan kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya;
7. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan;
8. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah
dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar
yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi
dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan
rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan
sarana lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana
tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta;
9. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian
dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan
dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai
dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling
tanah matang;
10. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan
sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan,
pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian untuk membangun bangunan;
11. Konsolidasi tanah permukiman adalah upaya penataan kembali
penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat Pemilik
tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun
dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang
yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 2
(1) Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi penataan dan
pengelolaan perumahan dari permukiman, baik di daerah perkotaan
maupun di daerah perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan
terkoordinasi.
(2) Lingkup Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru,
pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya,
sedangkan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan
pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan,
dan pemanfaatannya.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil
dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,
keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 4
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk :
a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia,
dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
c. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang
rasional;
d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidangbidang
lain.
BAB III
PERUMAHAN
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau
menikmati dan/atau memilik i rumah yang layak dalam lingkungan yang
sehat, aman, serasi, dan teratur.
(2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.
Pasal 6
(1) Kegiatan pembangunan rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak
atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pembangunan rumah atau perumahan oleh bukan pemilik hak atas tanah
dapat dilakukan atas persetujuan dari pemilik hak atas tanah dengan
suatu perjanjian tertulis.
Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :
a. mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif;
b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan
rencana pemantauan lingkungan;
c. melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan
lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakannya wajib :
a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya
sebagai tempat tinggal atau hunian;
b. mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.
Pasal 9
Pemerintah dan badan-badan sosial atau keagamaan dapat menyelenggarakan
pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap
memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 10
Penghunian, pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang
dikuasai Negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan
di bidang perumahan dan permukiman.
(2) Tata cara pendataan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan
atau izin pemilik.
(2) Penghunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan baik dengan
cara sewa-menyewa maupun dengan cara bukan sewa-menyewa.
(3) Penghunian rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan cara
sewa-menyewa dilakukan dengan perjanjian tertulis, sedangkan
penghunian rumah dengan cara bukan sewa-menyewa dapat dilakukan
dengan perjanjian tertulis.
(4) Pihak penyewa wajib menaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan
perjanjian tertulis.
(5) Dalam hal penyewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak bersedia
meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang
disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah
atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi
Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya.
(6) Sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa
batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-undang
ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah
berlakunya Undang-undang ini.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan
memperoleh kem udahan dari Pemerintah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah
diselesaikan melalui badan peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2) a. Pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang
dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki
pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
(1) Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau
dengan cara pemindahan hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemindahan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan akta otentik.
Pasal 17
Peralihan hak milik at as satuan rumah susun dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PERMUKIMAN
Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan
kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan
terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangungan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditujukan untuk :
a. Menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan
lingkungan permukiman;
b. Mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas
lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau disekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling
dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan
kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah perkotaan
dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari
kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan
rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang telah memenuhi
persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
meliputi penyediaan :
a. rencana tata ruang yang rinci;
b. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah
c. jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor
mengenai prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum sebagian
diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik Negara dan/atau badan
lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi untuk itu.
(3) Pembentukan badan lain serta penunjukkan badan usaha milik negara
dan/atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha
milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) dapat bekerjasama dengan badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, koperasi, dan badan-badan usaha swasta di bidang
pembangunan perumahan.
(5) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak menghilangkan
wewenang dan tanggungjawab badan usaha milik negara atau badan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Persyaratan dan tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh
badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah
memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu melakukan
konsolidasi tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap
bangun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah
yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
yang bukan hasil konsolidasi tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya
dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap
bangun yang belum berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat
dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2).
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang
pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di
lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada
Pasal 7, badan usaha dibidang pembangunan perumahan wajib :
a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan
penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka
penyediaan kaveling tanah matang;
b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan
membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan
pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
c. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
d. membanlu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan
hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam melakukan konsolidasi
tanah;
e. melakukan penghijauan lingkungan;
f. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan;
g. membangun rumah.
Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik
tanah melalui konsolidasi tanah dengan memperhatikan ketentuan pada
Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi kegiatan -
kegiatan :
a. pematangan tanah;
b. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
c. penyediaan prasarana lingkungan;
d. penghijauan lingkungan;
e. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun
lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa
rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan
setempat, badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang
membangun linkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah matang
ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil
upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjualbelikan tanpa
rumah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam tahap
pelaksanaan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian untuk
meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayal (1)
berupa kegiatan-kegiatan :
a. perbaikan atau pemugaran;
b. peremajaan;
c. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman
sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkahlangkah
pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 29
(1) Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan
permukiman.
(2) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha
bersama.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 30
(1) Pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman
dalam bentuk pengaturan dan pembimbingan, pemberian bantuan dan
kemudahan, penelitian dan pengembangan, perencanaan dan
pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian.
(2) Pemerintah melakukan pembinaan badan usaha di bidang perumahan dan
permukiman.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan berdasarkan
rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan
perkotaan yang menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait serta rencana,
program, dan priorilas pembangunan perumahan dan permukiman.
Pasal 32
(1) Penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman
diselenggarakan dengan:
a. penggunaan tanah yang langsung dikuasai Negara;
b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
c. pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Tata cara penggunaan tanah yang langsung dikuasai Negara dan tatacara
konsolidasi tanah oleh pemilik tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) butir a dan b diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Untuk memberikan bantuan dan/atau kemudahan kepada masyarakat
dalam membangun rumah sendiri atau memiliki rumah, Pemerintah
melakukan upaya pemupukan dana.
(2) Bantuan dana/atau kemudahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa kredit perumahan.
Pasal 34
Pemerintah memberikan pembinaan agar penyelenggaraan pembangunan
perumahan dan permukiman selalu memanfaatkan teknik dan teknologi,
industri bahan bangunan, jasa konstruksi, rekayasa dan rancang bangun yang
tepat guna dan serasi dengan lingkungan.
Pasal 35
(1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang perumahan dan
permukiman kepada pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal
7 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 10 (seputuh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggitingginya
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
(3) Setiap badan karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas
ketenluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24 Pasal 26
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000.000.00(seratus juta rupiah).
(4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal
12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00 (duapuluh juta
rupiah).
Pasal 37
Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan harga tertinggi
sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-IAIN
Pasal 38
Penerapan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 tidak
menghilangkan kewajibannya untuk tetap memenuhi ketentuan Undang-undang
ini.
Pasal 39
Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dipenuhi oleh suatu
badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin
usaha badan tersebut dicabut.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan
di bidang perumahan dan permukiman yang telah ada tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti atau diubah
berdasarkan Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang nomor 1
Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 6
tahun 1962 tentang Pokok-pokok perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962
Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 1964 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2611) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan.


POLA PERMUKIMAN

Permukiman Pengertian permukiman, perumahan dan rumah
Beberapa pengertian permukiman, antara lain: 1. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, permukiman adalah lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik kawasan perkotaan maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan; 2. Menurut Sinulingga (1999: 187), permukiman adalah gabungan 4 elemen pembentuknya (lahan, prasarana, rumah dan fasilitas umum) dimana lahan adalah lokasi untuk permukiman. Kondisi tanah mempengaruhi harga rumah, didukung prasarana permukiman berupa jalan lokal, drainase, air kotor, air bersih, listrik dan telepon, serta fasilitas umum yang mendukung rumah; dan 3. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Terbentuknya sebuah permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara keseluruhan dapat dilihat unsur-unsur ekistiknya. Adapun unsur-unsur ekistik pada sebuah pola permukiman sebagai berikut (Doxiadis, 1968): 1. Natural (Fisik Alami): a. Geological resources (tanah/geologi); b. Topographical resources (kelerengan/ketinggian); c. Water (hidrologi/sumber daya air); d. Plant life (tanam-tanaman/vegetasi); f. Animal (hewan); dan g. Climate (iklim). 2. Man (Manusia): a. Biological needs (space, air, temperature); b. Sensation and perception (the five senses); c. Emotional needs (human relations, beauty); dan d. Moral values (nilai-nilai moral). 3. Society: a. Population composition and density (komposisi dan kepadatan penduduk); b. Social stratifications (stratifikasi masyarakat); c. Culture pattern (bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat); d. Economic development (pertumbuhan ekonomi); e. Education (tingkat pendidikan); f. Health and welfare (tingkat kesehatan dan kesejahteraan); dan g. Law and administration (hukum dan administrasi). 4. Shell: a. Housing (rumah); b. Community services (pelayanan masyarakat); c. Shopping centres and markets (pusat perdagangan dan pasar); d. Recreational facilities (threate, museum, stadium, etc); e. Civic and business centres (town hall, law-courts, etc); f. Industry (sektor industri); dan g. Transportation centres (pusat pergerakan). 5. Network: a. Water supply systems (sistem jaringan air); b. Power supply systems (sistem jaringan listrik); c. Transportation systems (sistem transportasi); d. Communication systems (sistem komunikasi); e. Sewerage and drainage (sistem pembuangan dan drainase); dan f. Physical lay out (bentuk fisik).
Secara kronologis kelima elemen ekistik tersebut membentuk lingkungan permukiman. Nature (unsur alami) merupakan wadah manusia sebagai individu (man) ada di dalamnya dan membentuk kelompok-kelompok sosial yang berfungsi sebagai suatu masyarakat (society). Kelompok sosial tersebut membutuhkan perlindungan sebagai tempat untuk dapat melaksanakan kehidupannya, maka mereka menciptakan shell. Shell berkembang menjadi besar dan semakin kompleks, sehingga membutuhkan network untuk menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu permukiman terdiri dari isi (content), yaitu manusia baik secara individual maupun dalam masyarakat dan wadah (container), yaitu lingkungan fisik permukiman (Doxiadis, 1968).

Tinjauan Karakteristik Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional Pengertian tata ruang
Menurut Rapoport (1989), pengertian tata ruang merupakan lingkungan fisik tempat terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang tertentu. Ketataruangan secara konsepsual menekankan pada proses yang saling bergantung antara lain : 1. Proses yang mengkhususkan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan fungsional tersebut; 2. Proses pengadaan ketersediaan fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang basi aktivitas seperti bentuk tempat kerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi; dan 3. Proses pengadaan dan penggabungan tatanan ruang ini antara berbagai bagian-bagian permukaan bumi di atas, yang mana ditempatkan berbagai aktivitas dengan bagian atas ruang angkasa, serta kebagian dalam yang mengandung berbagai sumber daya sehingga perlu dilihat dalam wawasan yang integratik.
Dalam lingkup kota, suatu kota yang merupakan pusat kegiatan usaha terdiri dari berbagai unsur ruang dan unsur-unsur ruang kota ini akan membentuk struktur kota. Proses pembentukan ini akan berbeda antara satu kota dengan kota lainnya. Struktur ruang dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu 1. Struktur Sosial. merupakan struktur yang menggambarkan adanya tingkat perhubungan dengan kondisi sosial dalam ruang; 2. Struktur Ekonomi, menggambarkaan kegiatan-kegiatan ekonomi yang terselenggara oleh penduduk; dan 3. Struktur Fisik dan Kegiatan, menampilkan bentukan-bentukan fisik ruang yang diidentifikasikan dengan pengelompokkan tasilitas, kegiatan di lokasi tertentu.
Ruang-ruang terbentuk karena kegiatan/aktifitas masyarakat, menurut Ronels dalam Sasongko (2005), sistem kegiatan dilihat dari pola perilaku digolongkan menjadi tiga, yaitu 1. Sistem kegiatan rutin yakni aspek kegiatan utama individu meliputi pergi belanja. ke kantor dan sebagainya; 2. Sistem kegiatan berlembaga, yakni kegiatan kelembagaan baik swasta maupun pemerintahan yang difokuskan pada particular point; dan 3. Sistem kegiatan yang menyangkut organisasi dari pada proses-prosesnya sendiri yang menyangkut hubungan yang lebih kompleks dengan berbagai sistem kegiatan lain baik dengan perorangan, lembaga/kelompok tercipta lingkungan (pertanian yang sangat banyak dalam satu sistem saja).

Bangunan tradisional
Selain permukiman tradisional, kebudayaan fisik lainnya terlihat dari bentuk bangunan tradisional yang biasanya diterapkan pembangunannya melalui rumah tradisional. Menurut Machmud (2006:180), rumah tradisional dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa generasi. Istilah lain untuk rumah tradisional adalah rumah adat atau rumah rakyat. Kriteria dalam menilai keaslian rumah–rumah tradisional antara lain kebiasaan–kebiasaan yang menjadi suatu peraturan yang tidak tertulis saat rumah didirikan ataupun mulai digunakan. Ada ritual–ritual tertentu misalnya upacara pemancangan tiang pertama, selamatan/kenduri dan penentuan waktu yang tepat. Selain hal tersebut, masih banyak tata cara atau aturan yang dipakai, misalnya arah hadap rumah, bentuk, warna, motif hiasan, bahan bangunan yang digunakan, sesajen, doa atau mantera yang harus dibaca dan sebagainya sangat erat terkait pada rumah tradisional.
Bangunan arsitektur tradisional mempunyai beberapa ciri yang dapat dilihat secara visual. Ciri-ciri ini hampir semuanya terdapat di beberapa daerah di Indonesia, namun adakalanya beberapa lokasi sedikit mempunyai perbedaan. Beberapa ciri arsitektur tradisional antara lain (Utomo 2000 dalam Dewi et al. 2008:33-35): 1. Berlatar belakang religi: Keberadaan bangunan arsitektur tradisional tidak lepas dari faktor religi, baik secara konsep, pelaksanaan pembangunannya maupun wujud bangunannya. Hal ini disebabkan oleh cara pandang dan konsep masyarakat tradisional dalam menempatkan bagian integral dari alam (bagian dari tata sistem kosmologi), yaitu alam raya, besar (makroskopis) dan alam kecil (mikroskopis), yang diupayakan oleh masyarakat tradisional adalah bagaimana agar kestabilan dan keseimbangan alam tetap terjaga. Bentuk perujukan dengan alam tersebut dilakukan dengan berbagai cara, yaitu sebagai berikut: - Menganggap arah-arah tertentu memiliki kekuatan magis: Menganggap arah-arah tertentu mempunyai kekuatan magis bukanlah satu hal yang asing di dunia arsitektur tradisional (juga di Indonesia). Mereka mengenal arah mana yang dianggap baik dan arah mana yang dianggap buruk atau jelek. Adapula yang menghubungkan arah ini dengan simbolisme dunia (baik dan suci), tengah (sedang) dan bawah (jelek, buruk, kotor). Arah-arah baik ini mempengaruhi pola tata letak bangunan dalam satu tapak. Bangunan-bangunan harus dihadapkan pada arah baik dan membelakangi arah buruk; dan - Menganggap ruang-ruang tertentu memiliki kekuatan magis: Adakalanya bangunan-bangunan tertentu di dalam bangunan dianggap mempunyai nilai sakral. Kesakralan ini diwujudkan dengan memberikan nilai lebih dalam suatu ruangan. Ruangan ini dianggap sakral, suci seperti yang terjadi dalam arsitektur tradisional Jawa. Senthong tengah pada bangunan rumah tinggal di Jawa dianggap sebagai ruang suci dan sakral dibandingkan dengan ruang lainnya; 2. Pengaruh hubungan kekeluargaan/ kemasyarakatan: Hubungan kekeluargaan dalam struktur masyarakat tradisional dapat dibedakan menjadi beberapa kriteria. Berdasarkan pertalian darah (genealogi) kelompok masyarakat tradisional dibedakan menjadi: - Sistem bilateral atau parental: Kesatuan keluarga dalam sistem ini terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak. Di dalam perkembangannya jumlah anggota keluarga pada sistem ini semakin lama semakin banyak, sehingga anggota keluarga yang tinggal bersama akan semakin besar, bahkan sampai rumah tinggal mereka tidak memuatnya lagi; dan - Sistem unilateral: Susunan keluarga dalam sistem ini ditarik dari garis keturunan hanya dari pihak ayah saja (patrilineal/ patrilokal) atau dari pihak ibu (matrilokal); dan 3. Pengaruh iklim tropis lembab: Karena posisi Indonesia berada pada zona yang beriklim tropis lembab, maka mau tidak mau keberadaan arsitektur tradisional harus merujuk kepada iklim tropis lembab. Konsep adaptasinya terhadap iklim setempat yang diterapkan pada bangunan rumah tinggalnya, diyakini sebagai salah satu contoh yang baik. Susunan massa, arah hadap (orientasi), pemilihan bentuk atap, pemilihan bahan bangunan, teknik komposisi, semuanya benar-benar diperhitungkan terhadap aspek iklim tropis sedemikian sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi penghuni rumah.
Continue Reading...