<-----"www.gunadarma.ac.id/"----->
<-----"www.gunadarma.ac.id/"----->

Sabtu, 20 Juli 2013

bab II ( pelestarian dan konservasi kawasan menteng )

BAB II
TINJAUAN TEORI
Bab ini secara umum menjelaskan mengenai definisi Pelestarian, bentuk-bentuk pelestarian, objek pelestarian, definisi wisata budaya, definisi Persepsi masyarakat, Konsep-konsep Pengembangan Kawasan Urban, dan Contoh Pelestarian Kawasan Kota Lama.



2.1 Definisi dan Bentuk-Bentuk Pelestarian/Konservasi
Konservasi secara umum diartikan pelestarian namun demikian dalam khasanah para pakar konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda implikasinya. Istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yang dikenal dengan Burra Charter.



Burra Charter menyebutkan "konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu
tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya
terpelihara dengan baik." Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian kota mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja.



Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan keaslian dan
perawatannya, namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik atau masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik tidak hanya mendapatkan tujuan pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan lain bagi pemakainya. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi yang sesuai karena tidak semua fungsi dapat


dimasukkan. Kegiatan yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multi
dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan. Dan pelestarian merupakan upaya untuk menciptakan pusaka budaya masa mendatang (future heritage), seperti kata sejarawan bahwa sejarah adalah masa depan bangsa. Masa kini dan masa depan adalah masa lalu generasi berikutnya.



Bentuk-bentuk dari kegiatan konservasi antara lain :
1. Restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan
fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilangkan tambahan- tambahan atau merakit kembali komponen eksisting menggunakan material baru.
2. Restorasi     (dalam      konteks      terbatas)       ialah      kegiatan       pemugaran      untuk
mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref.UNESCO.PP. 36/2005).
3. Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik
suatu tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan.
4. Preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan
pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar kelayakan fungsinya terjaga baik (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
5. Konservasi ( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu
tempat hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan
mungkin       (karena      kondisinya)     termasuk      tindakan       preservasi,    restorasi,
rekonstruksi, konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut.
6. Konservasi (dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya
perbaikan dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan







pengawasan bahan yang digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar
persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
7. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan
memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
8. Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan
memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi dan bangunan tetap layak fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur.
9. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai
tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan).
10. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan
gedung dan lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, histories dan teknis. (Ref. PP.36/2005). Kegiatan pemulihan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.








2.2 Definisi Wisata Budaya
Istilah pariwisata budaya memiliki beberapa definisi (Sofield dan Birtles, 1996) dan
hal tersebut yang masih membingungkan (Hughes, 1996) dan istilah simtomatik Tribes (1997) serta pariwisata indisiplin. Dalam sebuah buku yang dikarang oleh Valene Smith (1978: 4) berjudul Hosts dan Guests membedakan antara pariwisata etnik dan pariwisata budaya: pariwisata etnik dipasarkan untuk umum/wisatawan berdasarkan budaya yang mengalir/turun temurun dari penduduk pribumi yang bersifat eksotis. Wood (1984: 361) lebih lanjut mendefinisikan pariwisata etnik dengan memfokuskan pada orang-orang yang meninggalkan identitas budaya yang keunikannya dipasarkan kepada wisatawan.



Khususnya yang dikemas untuk wisatawan seperti tari-tarian pertunjukan, rumah atau
pemukiman asli penduduk lokal, upacara, dan hasil-hasil kerajinan berupa ornament dengan segala pernak-perniknya (Smith, 1978:4).



Wood (1984) maupun Smith (1978) membedakan antara pariwisata etnik dan
pariwisata budaya, sementara dalam kenyataannya yang sama, muncul (Cole, 1997). Menggunakan istilah etnik dianggap merupakan suatu masalah dalam konteks pariwisata. Lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan secara umum tentang istilah etnik mengimplikasikan adanya kelompok minoritas dengan segala keterbatasannya terhadap yang lain; penelusuran tentang primitifisme sehingga memunculkan keingintahuan tentang orang-orang primitif yang tak tersentuh (Mowforth dan Munt,
1998:69).       Kebanyakan      wisatawan      memiliki       pandangan      etnosentrik    tentang
masyarakat dan budaya yang mereka kunjungi (Laxon, 1991). Selwyn (1996: 21) menyatakan bahwa secara luas bisa diterima oleh para Antropolog. sementara kebanyakan pariwisata kontemporer dibangun berdasarkan Quest for the Other the other tergolong pada pramodern, prakomodifikasi, dunia yang dibayangkan serta autentik secara sosial (Sewlyn, 1996:21).








Pariwisata mentransformasi perbedaan pada masalah global pada konsumerisme
suatu proses di mana otherness menjadi komoditas yang dikonsumsi. Hal ini merupakan rasisme institusional yang mempertontonkan keprimitifan (Munt dan Mowforth, 1998: 270) sebagai penderitaan dan kemiskinan merupakan sesuatu yang astetis bagi wisatawan, akumulasi image dari kemiskinan. Hal-hal yang dilakukan oleh manusia didefinisikan sebagai komoditas seperti pariwisata diekspos pada perbedaan budaya dan variasi budaya lokal. Hal ini mengarah pada pembedaan dan kebangkitan budaya dan keetnikan (Walters, 1995).



Dikotomi antara pariwisata etnik dan pariwisata budaya di mana pariwisata etnik
dipergunakan untuk istilah primitive other dan pariwisata budaya diasosiasikan sebagai seni yang tinggi pada negara berkembangan (seperti yang dikatakan Richard, 1996), untuk menentukan ketidakseimbangan antara mereka yang miskin dan kaya. MacIntosh dan Goeldner (1990) mempergunakan konsep jarak budaya (cultural distance) untuk istilah wisatawan yang memiliki budaya yang berbeda dari tempat yang ia kunjungi. Pada saat ini, akademisi Barat mempergunakan istilah pariwisata etnik bila perbedaan budaya besar dan pariwisata budaya bila perbedaannya kecil. Semua masyarakat memiliki budaya; semakin jauh daerah tersebut dari wisatawan akan makin eksotis kelihatannya budaya itu.



Sangat menarik untuk menanyakan mereka yang melihat suatu perbedaan apakah
mereka akan menganggapnya pariwisata dalam Lapland, di Eropa seperti pariwisata etnim atau pariwisata budaya. Pertanyaan yang sama dapat dipertanyakan tentang kota pariwisata/township tourism termasuk kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah masyarakat Afrika yang miskin dan pada saat yang sama pemahaman tentang masyarakat kulit hitam kelas menengah yang tinggal di kota (Lihat Briedenhann dan Ramchanders) merupakan studi kasus tentunya tidak ada grup etnik tertentu yang dapat direpresentasikan sebagai istilah etnik.








Lebih jauh istilah grup etnik biasanya dipergunakan untuk mendefinisikan ras khusus
atau kelompok linguistik (Hitchcooks (1993: 307). Jika etnisitas dan identitas dilihat secara proses dalam perubahannya tidak tepat untuk kelompok-kelompok beserta etnisnya untuk dikaitkan dengan pariwisata. Kelompok-kelompok lokal secara kreatif mempergunakan nama-nama etnis yang terkenal untuk keuntungannya.



MacCannells (1984: 386) menganalisis pariwisata etnik bahwa kelompok-kelompok
etnik yang dipariwisatakan sering melemah karena satu sejarah eksploitasi yang terbatas pada sumber-sumber dan kekuatan, dan tidak memiliki bangunan-bangunan yang besar, mesin, monumen ataupun keajaiban alam utnuk menarik perhatian wisatawan dari kehidupan mereka sehari-hari. Lebih jauh, struktur ekonomi pariwisata etnis sebagian uang yang ikut serta tidak mengubah daerah tersebut yang menghasilkan hanya sedikit keuntungan secara ekonomi bagi kelompok tersebut.
Analisis       yang     diungkapkan       oleh      Cohen     juga      menekankan      pada     kurang
berkembangnya sumber-sumber kelompok. Lebih jauh ia membuat beberapa poin- poin penting: bahwa kelompok marginal merupakan sumber utama dari ketertarikan, dan preservasi dari perbedaannya merupakan prekondisi yang krusial dari keberlanjutan kepariwisataannya.



Presentasinya cenderung pada esensialisasi sebagai entitas homogenius yang ditandai
dengan perbedaan dengan karakteristik yang mudah diketahui (Cohen, 2001: 28). Cohen (2001) menyatakan bahwa telah terjadi evolusi pariwisata etnis, dimana para wisatawan merupakan agen aktif namun masyarakat mencapai hanya satu tingkat pemberdayaan karena hanya mendapat sedikit reward finansial melalui penjualan dari barang-barang kerajinan. Dia selanjutnya menyarankan bahwa untuk pembangunan pariwisata, beberapa penduduk harus dapat mengakumulasikan modal serta mengetahui selera wisatawan sehingga dapat meningkatkan pengeluaran wisatawan. Performance hospitality dan hasil kerajinan menjadi komoditas yang diorientasikan untuk wisatawan atau orang-orang luar.







MacCannell (1984) menyarankan bahwa: masyarakat harus melihat atraksi etnis
anggota kelompok dan mulai berpikir tentang diri mereka sebagai perwakilan dari cara hidup etnik sebagai sebuah komunitas, karena jika terjadi perubahan ekonomi akan ber-implikasi politik untuk seluruh kelompok. Kelompok tersebut terpaku pada satu imaji tentang dirinya atau museumized (MacCannell, 1984: 388). Butcher (2001) menyatakan bahwa pariwisata budaya dapat menimbulkan straight jacket. Budaya mereka menjadi cerminan lebih jauh bila tingkat perkembangan ekonomi dilihat sebagai bagian dari budaya dan ketidakseimbangan menjadi interpretasi ulang sebagai perbedaan budaya pariwisata dapat mempertahankan kemiskinan.



Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang
dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan motivasi wisatawan serta atraksi yang terdapat di daerah tujuan wisata maka kegiatan pariwisata dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu pariwisata yang bersifat massal dan pariwisata minat khusus. Jika pada pariwisata jenis pertama lebih ditekankan aspek kesenangan (leisure) maka pada tipe kedua penekanannya adalah pada aspek pengalaman dan pengetahuan.



Pariwisata Pusaka adalah salah satu bentuk pariwisata minat khusus yang
menggabungkan berbagai jenis wisata (seperti wisata bahari, wisata alam, wisata trekking, wisata budaya, wisata ziarah dan sebagainya) ke dalam satu paket kegiatan yang bergantung pada sumber daya alam dan budaya yang dimiliki oleh suatu daerah. Pariwisata Pusaka atau heritage tourism biasanya disebut juga dengan pariwisata pusaka budaya (cultural and heritage tourism atau cultural heritage tourism) atau lebih spesifik disebut dengan pariwisata pusaka budaya dan alam. Pusaka adalah segala sesuatu (baik yang bersifat materi maupun non materi) yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang ingin kita jaga keberadaan dan keberlangsungannya. Dalam undang-undang negara kita,pusaka yang bersifat material disebut sebagai Benda Cagar Budaya.





Pada pasal 1 UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya mendefinisikan
Benda Cagar Budaya sebagai :
1. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang- kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan.Jadi yang dimaksud dengan pusaka bisa berupa hasil kebudayaan manusia maupun alam beserta isinya.



Beberapa lembaga telah mendefinisikan pariwisata pusaka dengan titik berat yang
berbeda-beda.    Organisasi        Wisata       Dunia       (World       Tourism       Organization)
mendefinisikan pariwisata pusaka sebagai kegiatan untuk menikmati sejarah, alam, peninggalan budaya manusia, kesenian, filosofi dan pranata dari wilayah lain. Badan Preservasi Sejarah Nasional Amerika (The National Trust for Historic Preservation) mengartikannya sebagai perjalanan untuk menikmati tempat-tempat,artefak-artefak dan aktifitas-aktifitas yang secara otentik mewakili cerita/sejarah orang-orang terdahulu maupun saat ini. Suatu negara bagian di Amerika, Texas (Texas Historical Commission) mengartikannya sebagai perjalanan yang diarahkan untuk menikmati peninggalan-peninggalan yang terdapat di suatu kota, daerah, provinsi atau negara. Kegiatan ini membuat wisatawan dapat mempelajari, dan dilingkupi oleh adat-istiadat lokal, tradisi, sejarah dan budaya.



Berdasarkan berbagai definisi yang telah ada, maka dapatlah disimpulkan bahwa
pariwisata pusaka adalah sebuah kegiatan wisata untuk menikmati berbagai adat istiadat lokal, benda-benda cagar budaya, dan alam beserta isinya di tempat asalnya
yang      bertujuan       untuk      memberikan       pengetahuan       dan       pemahaman      akan
keanekaragaman budaya dan alam bagi pengunjungnya.







2.3 Persepsi Masyarakat
2.3.1 Pengertian Persepsi Masyarakat
Seorang pakar organisasi bernama Robbins (2001:88) mengungkapkan bahwa Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Sejalan dari defenisi diatas, seorang ahli yang bernama Thoha (1998:23) , mengungkapkan bahwa persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan maupun pendengaran. Wirawan (1995:77), menjelaskan bahwa proses pandangan merupakan hasil hubungan antar manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang dipengaruhi memori tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap, intelegensi, dimana hasil atau penelitian terhadap apa yang diinderakan akan Mempengaruhi tingkah laku.



Defenisi persepsi juga diartikan oleh Indrawijaya (2000:45), sebagai suatu
penerimaan yang baik atau pengambilan inisiatif dari proses komunikasi. Lebih lanjut adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ralph Linton dalam Harsojo (1997:144) menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya
dan berpikir tentang dirinya sebagai kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Masyarakat
Robbins (2001:89) mengemukakan bahwasanya ada 3 faktor yang dapat
mempengaruhi persepsi masyarakat yaitu :
1. Pelaku persepsi, bila seseorang memandang suatu objek dan mencoba menafsirkan
apa yang dilihatnya dan penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik
pribadi dari pelaku persepsi individu itu
2. Target atau objek, karakteristik-karakteristik dan target yang diamati dapat
mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Target tidak dipandang dalam keadaan terisolasi, hubungan suatu target dengan latar belakangnya mempengaruhi persepsi seperti kecendrungan kita untuk mengelompokkan benda-benda yang berdekatan
atau yang mirip
3. Situasi, dalam hal ini penting untuk melihat konteks objek atau peristiwa sebab
unsur-unsur lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi kita.



2.4 Definisi perancangan kota dan elemen-elemen rancang kota
Rancang kota atau urban design merupakan bidang disiplin ilmu yang kompleks yang
mencangkup banyak hal seperti disiplin ilmu arsitektur, lanskap, perencanaan perkotaan, teknik sipil dan transportasi, psikologi atau banyak hal lainnya. Rancang kota menyangkut manajemen suatu pembangunan fisik dari kota. Pembatasan dari pengertiannya ditekankan pada suatu bentuk fisik berupa tempat (place) yang merupakan suatu ruang olah manusia yang dianggap mempunyai makna. rancang kota menitik beratkan pada hubungan elemen fisik kota sebagai suatu bentuk jaringan yang tidak dapat berdiri sendiri.





2.4.1 Peruntukan Lahan (Land Use)
Land use atau peruntukan lahan merupakan suatu bentuk penerapan rencana-rencana
dasar dua dimensi ke dalam pembuatan ruang tiga demensi dan penyelenggaraan fungsi ruang tersebut.Peruntukan lahan mempertimbangkan tujuan dan prinsip yang akan dicapai pada guna tertentu seperti guna hunian, komersil, rekrasional, industri dan sebagainya. Mempertimbangkan kondisi daya dukung alam terhadap kapasitas kegiatan yang ditampung, kondisi ini juga berkaitan dengan pemakaian lantai dasar bangunan dan kofisien lantai bangunan. Keberadaan komunitas sekitar juga mempengaruhi pertimbangan tata guna lahan, dampak yang terjadi baik secara fisik maupun secara sosial. Pertimbangan penentuan peruntukan lahan tersebut sangatlah penting dan sensitif , karena menyangkut keberlangsungan daya dukung kehidupan pada suatu kota yang berhubungan baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan alam atau ekologi.



Menurut Shirvani (1985) permasalahan utama dari kebijakan land use adalah
pertama, kurangnya keragaman guna di suatu area dengan kata lain pemisahan peruntukan lahan di wilayah perkotaan. Kedua , Salah dalam menyadari keberadaan faktor fisik dari lingkungan hidup dan alam dan terakhir infrastruktur. Kebijakan peruntukan lahan suatu kota tak terlepas dengan keberadaan dan perencanaan infrastruktur dan hubungannya dengan kota lain. Permasalahan yang timbul dalam kebijakan tersebut saat ini adalah dengan adanya penyebaran yang tidak tertata dari fungsi lahan yang disebut juga sprawl. Dengan adanya akses jalan raya seperti tol atau arteri, yang menghubungkan pusat kota dengan daerah sekitar dan adanya kecenderungan pemilikan kendaraan bermotor yang tinggi mempercepat proses sprawl tersebut.



Urban sprawl mengakibatkan timbulnya masalah sosial seperti perbedaan kontras
terhadap pengelompokan tempat tinggal berdasarkan pendapatan, kurangnya interaksi sosial, permasalahan pencemaran lingkungan, hilangnya ruang terbuka atau lahan pertanian dan penghijauan, maupun timbulnya ruang-ruang kosong perkotaan. Dalam





Charter of the New Urbanism (2000) memandang permasalahan urban sprawl harus
melihat dalam konteks dari skala metropolitan, dengan adanya hubungan pusat kota dan daerah pinggir kota, sampai pada lingkungan terkecil yaitu lingkungan neighborhood dan blok. Dengan konteks tersebut, kebijakan peruntukan lahan memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya permasalahan urban sprawl disamping hubungannya dengan elemen sirkulasi dan faktor sosial ekonomi masyarakat kota itu sendiri.



Menurut Roger Trancik (1986) kebijakan peruntukan yang tidak hati-hati seperti
pemisahan peruntukan lahan kepada fungsi tersendiri, menggantikan kepadatan horzontal ke vertikal, dan pemisahan fungsi ruang tempat tinggal dengan tempat bekerja mempengaruhi terbentuknya'ruang yang hilang' atau lost space. Lost space menciptakan jurang pemisah sosial, pengelompokan pemukiman menjadi suatu kantong pemukiman atau enclave, menghilangkan keberlangsungan pejalan kaki, dan juga berkaitan dengan permasalahan sprawl. Dari kebijakan peruntukan lahan juga dapat menimbulkan permasalahan 'pod development' atau semacam pembangunan yang berdiri sendiri. Sebagaimana ditulis oleh Ford (2000) bahwa di dalam pod development, setiap peruntukan seperti shopping mall, outlet siap saji, taman perkantoran, apartemen, hotel, kelompok-kelompok perumahan, dsb. Disusun sebagai elemen terpisah, dikelilingi oleh ruang parkir dan biasanya memiliki akses masuk sendiri dari jalan kolektor atau jalan distribusi utama. Idenya adalah memisahkan atau mendindingi peruntukan lahan pada lingkungan sosial dan fungsional yang tersendiri. Bentuk pod development juga menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan urban sprawl maupun terbentuknya ruang-ruang yang hilang atau lost space.



Kebijakan peruntukan lahan yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai
permasalah seperti yang tersebut diatas, terutama kebijakan pemisahan peruntukan lahan yang berdiri sendiri. Pendekatan penyelesaian permasalahan tersebut dari elemen peruntukan lahan adalah perdekatan terhadap peruntukan lahan campuran





atau yang disebut sebagai mixed use. Pada saat ini peruntukan lahan dua dimensi
dijabarkan ke dalam ruang yang tidak terbatas pada peruntukan lantai dasar tetapi juga kepada peruntukan vertikalnya sehingga memunculkan suatu bentuk peruntukan
campuran (mixed use). Peruntukan campuran merupakan penerapan                 yang
menentukan hubungan antara fungsi-fungsi kegiatan yang saling mendukung pada suatu lokasi peruntukan. Peruntukan campuran di area perkotaan mempunyai arti lebih karena sangat besar hubungan dengan pemanfaatan intensitas lahan yang semakin terbatas, kebutuhan keragaman kegiatan pada satu lokasi, efisiensi energi dengan mempersingkat perjalanan, faktor ekonomi maupun faktor sosial yang mampu memberikan suasana yang lebih hidup, menarik, bergairah dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat untuk berinteraksi.



Menurut Shirvani (1985) percampuran kegunaan adalah kunci permasalahan dalam
pengambilan kebijakan peruntukan lahan. Kegiatan 24 jam dengan perbaikan sirkulasi melalui fasilitas-fasilitas pejalan kaki, penggunaan yang lebih baik dari sistem infrastruktur, analisis yang berdasarkan lingkungan hidup alami dan perbaikan-perbaikan infrastruktur mendukung fungsi peruntukan campuran. Kegiatan pada tingkat jalur pejalan kaki dalam peruntukan campuran memegang peranan penting, ia dapat menciptakan ruang yang lebih manusiawi, menyenangkan dan ramah lingkungan. Akan tetapi peruntukan campuran tidak akan berhasil pada tingkat konsentrasi kegiatan jalur pejalan kaki apabila tidak didukung oleh tata massa dan bangunan yang mendukung hal tersebut. Pola massa urban perimeter block atau pola bangunan yang menempatkan muka lantai dasar menempel dengan garis jalan lebih mendukung kegiatan jalur pejalan kaki dibanding pola free standing building atau bangunan tinggi yang berdiri di ruang terbuka.



2.4.2      Tata Massa dan Bentuk Bangunan (Building Form and Massing)
Bentuk dan tata massa bangunan pada awalnya menyangkut aspek-aspek bentuk fisik oleh zona spesifik atas ketinggian, pengaturan muka bangunan (setback) dan penutupan (coverage). Kemudian lebih luas menyangkut masalah penampilan dan





konfigurasi     bangunan.       Disamping        ketinggian        dan      kepejalan,       penampilan
(appearence) dipengaruhi oleh warna, material, tekstur dan fasade, style, skala, dsb. Spreiregen (1965) menyatakan isu-isu kritis yang berhubungan dengan bentuk bangunan dan massa. Pertama adalah 'skala', yang berhubungan aspek visual manusia (human vision), sirkulasi, bangunan pada lingkungan tempat tinggal dan ukuran lingkungan tempat tinggal. Selanjutnya adalah ruang perkotaan sebagai sebuah elemen utama dari rancang kota dan pentingnya penekanan pada bentuk, skala dan rasa keterlingkupan (sense of enclosure) dan jenis-jenis dari ruang perkotaan. Dan yang terakhir adalah urban mass atau massa perkotaan yang termasuk bangunan- bangunan, permukaan tanah, dan segala objek yang disusun untuk membentuk ruang perkotaan dan membentuk pola-pola kegiatan.



Peruntukan lahan juga berperan dalam pengaturan tata massa dan bentuk bangunan
seperti penerapan pada peruntukan campuran pusat kota yang diarahkan pada ketinggian yang lebih dari peruntukan lainnya. Peruntukan lahan komersil atau retail pada lantai dasar menjadi pertimbangan pengaturan pemunduran bangunan yang diletakan pada garis kavling atau zero setback untuk mendekatkan dengan kegiatan alur pejalan kaki.



Peletakan tersebut dapat memberikan keuntungan pada kedua sisi, memudahkan
pengenalan produk retail dan memudahkan pencapaian transaksi dari fungsi retail pada bangunan kepada pejalan kaki dan memberikan keberlangsungan pejalan kaki dalam pergerakan dan mampu menarik perhatian pejalan kaki untuk berbelanja pada fungsi tersebut. Aspek visual disamping pengaturan pemunduran lantai bawah juga dicapai dengan pengaturan pemunduran lantai atasnya dimana arah pencahayaan alami menjadi aspek yang sangat penting dalam aspek visual tersebut. Kesan harmonis dan tidak monoton (diverse) dicapai dengan pengaturan muka bangunan (façade) dengan pewarnaan, tekstur, keseimbangan lebar muka bangunan terhadap lebar jalan, gaya (style), dan ketinggian. Ketegasan tepi bangunan dan vista koridor jalan juga dapat dibentuk dengan pengaturan massa bangunan, setback, ketinggian





sehingga ruang jalan memberikan arahan dan kenyaman pengguna jalan. Konfigurasi
bangunan sangat mempengaruhi kualitas visual dan berhubungan erat dengan elemen sirkulasi yaitu jalan dan elemen ruang terbuka. Keterlingkupan (enclosure) dapat dibentuk dari konfigurasi bangunan tersebut. Roger Trancik (1986) menekankan keterlingkupan berdasarkan bangunan arsitektural sebagai 'ruang keras' atau hard space. Carmona, et al. (2000) memaparkan keterlingkupan merupakan ruang positif , ruang luar memiliki bentuk yang pasti, tersendiri. Bentuknya yang paling penting adalah keberadaan bangunan yang memilikinya. Keterlingkupan yang di bentuk oleh tata bangunan memiliki skala yang dapat dirasakan secara visual oleh manusia.



Gari Robinette (1972) menyatakan, keterlingkupan penuh didapat ketika dinding
bangunan yang mengelilingi menciptakan perbandingan 1:1 atau mengisi 45 derajat sudut pandang kerucut. Ambang keterlingkupan terjadi pada perbandingan 2:1 antara jarak ruang terbuka horizontal dengan ketinggian dinding bangunan. Keterlingkupan minim didapat dari perbandingan 3:1 dan hilangnya keterlingkupan terjadi pada perbandingan 4:1 atau lebih besar. Yosinobu Ashihara (1981) menghubungkan keterlingkupan dengan pengaruhnya terhadap keguanaan dan efek perasaan manusia. Kesan intim dapat dirasakan pada jarak ke perbandingan ketinggian bangunan antara 1 sampai 3. Dan perbandingan 6:1 atau lebih menciptakan ruang umum atau public. Untuk perbandingan yang dianggap ideal dari keterlingkupan ini adalah perbandingan antara jarak ke ketinggian bangunan 2:1. pada perbandingan ini sisi atas dinding bangunan masih terlihat pada sudut 27 derajat diatas bidang horizontal mata manusia.



Tapi dari skala nilai perbandingan keterlingkupan ini yang harus diperhatikan adalah
jarak maksimal yang masih dapat dirasakan. Karena walau nilai perbandingan dianggap ideal tetapi jarak horizontal antar bangunan sangat jauh, kesan humanis tetap akan hilang. Kemudahan pengenalan dengan penekanan pada landmark ruang kota tidak hanya dicapai dengan bentuk simbolis pada ruang terbuka umum seperti tugu, monumen, dsb. Tapi dapat diolah melalui konfigurasi penataan ini. Penekanan pengaturan pada simpul jalan (node) merupakan salah satu bentuk kemudahan



pengenalan (legibility) tersebut. Keseluruhan konfigurasi dan penampilan tata massa
dan bentuk bangunan juga dapat diarahkan pada tema daerah yang akan dicapai tercapai kualitas citra (image) district seperti pada tulisan Kevin Lynch dalam Image of the City.



Pengaturan ini juga berhubungan dengan aspek cuaca (climate) yang berbeda-beda
pada suatu tempat tertentu. Seperti pada kondisi iklim tropis, pengaturan massa bangunan dan bentuk jalan diarahkan pada bentuk grid yang menerus dan tidak memecah sirkulasi penghawaan, menghidari ruang coutyard yang tidak memiliki bukaan ventilasi menyilang (cross ventilation) dan peragaman ketinggian bangunan pada blok untuk dapat memberikan aliran udara yang menyeluruh. Penyinaran yang besar yang berpengaruh pada kenyamanan pejalan kaki membutuhkan bentuk perlindungan yang salah satunya dapat dicapai dengan pengaturan setback lantai dasar fungsi komersil pada ruang umum dengan membentuk arcade atau collonade sepanjang fungsi ruang tersebut.



Aspek visual memegang peranan penting pada pembentukan ruang kota yang dapat
dicapai dari tata massa dan bentuk bangunannya disamping faktor kegiatan dan faktor iklim setempat. Bentuk bangunan dan tata massa tidak terlepas dengan hubungannya terhadap elemen lain dari rancang kota tersebut. Sehingga keterpaduan hubungan antar elemen dan faktor non fisik menjadi pertimbangan yang penting dalam mencapai kualitas perancangan fisik kota melalui elemen tata massa dan bentuk bangunannya.



2.4.3      Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)
Sirkulasi merupakan bagian terpenting dari elemen rancang kota. Ia dapat
membentuk mengarahkan dan mengontrol pola-pola kegiatan dan pola-pola pembangunan di dalam kota, sebagaimana sistem transportasi dari jalan-jalan umum, jalur-jalur pejalan kaki dan sistem transit menghubungkan dan mengutamakan pada pergerakan. Sirkulasi juga dapat menjadi suatu prinsip yang menstrukturkan,





menegaskan dan memberikan karakteristik pada bentuk-bentuk fisik perkotaan seperti
pembedaan suatu daerah, kegiatan suatu tempat, dsb.



Dalam rancang kota jenis alur sirkulasi menekankan pada bentuk street yang
membedakan dengan bentuk road. Pengertian road adalah alur sirkulasi kendaraan bermotor. Sedangkan pengertian street dalam Public Place-Urban Space (Carmona, 2003) dan menurut Roger Trancik (1986) adalah suatu bentu alur sirkulasi yang memfasilitasi pemisahan pergerakan kendaraan dan pejalan kaki . Dari fungsi yang ada tidak sekedar sebagai alur pergerakan tetapi sebagai tempat kegiatan sosial maupun pemegang peranan penting dalam aspek visual suatu kota. Dengan demikian, alur sirkulasi yang memegang peranan penting dalam rancang kota adalah yang memiliki pengertian tersebut. Jalan sebagai bentuk sirkulasi memegang peranan penting dalam suatu kota, pertama orang mengenali suatu kota melalui jalannya, ketika orang ingin mencari suatu tempat di suatu kota, jalan merupakan hal pertama yang di pelajarinya, seperti ditulis oleh Jane Jacob (1961): 'Pikirkan suatu kota, dan apa yang terlintas di dalam pikiran? Itu adalah jalan-jalannya. Apabila jalan suatu kota terlihat penting, maka kota tersebut menjadi penting dan apabila ia terlihat gersang maka kota tersebut menjadi gersang.



Rancang kota tak terlepas dengan aspek visual sehingga pengolahan jalan sebagai
alur sirkulasi haruslah menjadi elemen ruang terbuka visual yang positif dimana elemen-elemen fisik di ruang jalan tersebut haruslah terintegrasi dengan baik, membentuk ruang visual yang dapat dinikmati pengguna jalan. Seperti pengaturan tata bangunan dan massa, treatment pola hijau, pengaturan tempat atau lahan parkir, tata informasi (signage), elemen street furniture, dsb. Dari aspek visual tersebut banyak hal yang dapat dicapai melalui pengolahan jalan seperti pemberian sifat legibility atau pengenalan suatu tempat atau daerah, adanya ruang yang memberikan kesan humanis dengan skala manusia, sifat menerus (continuity), meningkatkan aspek estetika, menghilangkan sifat monoton yang menimbulkan kejenuhan dalam







pergerakan seperti pengaturan tata letak lahan parkir yang dapat menimbulkan
kekosongan ruang visual jalan, dsb.



Hirarki jalan juga menentukan dalam rancang kota. Ia menentukan zoning ruang
umum (public) dan ruang pribadi (privat), menentukan tingkat kecepatan pergerakan, penghubung ruang-ruang umum utama dan penempatan transit point dan moda Selain
jalan, parkir merupakan tempat yang sangat berhubungan dengan elemen sirkulasi.
Shirvani (1985) menyatakan pada saat ini tujuan yang ingin dicapai pada perancangan alur sirkulasi meliputi perbaikan mobilitas pada CBD, menghindari penggunaan kendaraan pribadi, menganjurkan penggunana transportasi umum dan perbaikan akses ke pusat bisnis terpadu (CBD). Permasalahan sirkulasi pada ruang kota pada saat ini tak terlepas dengan meningkatnya kebutuhan kendaraan bermotor dan kebijakan peruntukan seperti yang telah disebutkan pada penjelasan mengenai peruntukan lahan diatas. Permasalahan yang terjadi dari perancangan sirkulasi antara lain timbulnya pemisahan ruang kota dan kegiatannya akibat adanya jalan bebas hambatan atau jalan dengan kapasitas pergerakan yang tinggi. Ketiadaan penyediaan alur sirkulasi pada jenis pergerakan tertentu juga menimbulkan konflik pada pergerakan lain. Minimnya kontrol terhadap penyalahgunaan fungsi alur pergerakan pejalan kaki menjadi fungsi lain sehingga menimbulkan ketidak nyamanan dan ketidak amanan pada pejalan kaki itu sendiri maupun pada pengguna alur sirkulasi yang lain.



Kebutuhan luas tempat parkir tak terlepas dengan peningkatan jumlah kendaraan
bermotor dan kondisi fasilitas angkutan umum kota. Keberadaan parkir itu sendiri saat ini juga tak terlepas dari kegiatan komersial pusat kota dimana mobil sebagai simbol gaya hidup kota terutama golongan menegah ke atas tak terlepas dari hubungannya dengan gaya hidup konsumtif yang mengarah pada akses ke lokasi perbelanjaan yang memfasilitasinya.








Keberadaan parkir dapat bersifat positif yaitu memfasilitasi pengguna mobil dan
mengaktifkan tempat perbelanjaan pusat kota dan dapat bersifat negatif secara visual dengan memberikan ruang pada bahu jalan dapat mengurangi kecepatan kendaraan bermotor dan menambah keamanan bagi pedestrian.



Pengolahan ruang parkir tak terlepas dengan elemen-elemen lain dalam rancang kota.
Seperti pengaturan peruntukan campuran pada bangunan parkir dimana lantai bawah sepanjang jalur pedestrian (sidewalks) bangunan parkir digunakan sebagai fungsi retail yang dapat memberikan keberlangsungan pengguna jalur pedestrian atau penggabungan ruang parkir antara fungsi suatu tempat kegiatan dan waktu kegiatan yang berbeda. Juga penempatan lahan parkir dapat diatur pada ruang-ruang di belakang bangunan komersial yang menempel pada jalan sehingga koridor jalan tidak terputus dengan lahan parkir.



Kencenderungan perancangan lahan parkir saat ini pada pusat perbelanjaan di kota
Jakarta salah satunya adalah penempatanya pada lantai atas bangunan komersial tersebut sehingga mengarahkan pengunjung untuk melewati fungsi kegiatan perbelanjaan pada setiap lantai di bawahnya. Akan tetapi sebagian besar penempatan lahan parkir pada fungsi retail maupun perkantoran di kota Jakarta selain pada basement juga menggunakan ruang terbuka hasil dari peraturan pemda terhadap ketentuan KDB dan GSB (setback). Dengan kondisi ini ruang kota yang dibentuk masih didominasi oleh ruang parkir, sehingga kualitas kota yang dibentuk tidak maksimal.



2.4.4      Ruang Terbuka (Open Space)
Menurut Shirvani (1985) ruang terbuka ditegaskan dalam arti semua landscape,
hardscape (jalan, jalur pejalan kaki, dan sebebagainya), taman maupun ruang-ruang rekreasi di dalam ruang perkotaan. Kantong-kantong kosong sebagai lubang yang besar dalam ruang perkotaan tidak dikategorikan dalam ruang terbuka. Disini ruang







terbuka yang dimaksud tidak hanya sebagai sekedar area kosong tetapi lebih
ditekankan pada nilai yang dimilikinya.



Ruang terbuka umum/publik menurut Rustam Hakim (1987) adalah bentuk dasar dari
ruang terbuka di luar bangunan, dapat digunakan oleh publik (setiap orang) dan memberikan bermacam-macam kegiatan.



Sebagai civic space, ruang terbuka publik memiliki arti suatu ruang luar yang terjadi
dengan membatasi alam dan komponen-komponennya (bangunan) mengunakan elemen keras seperti pedestrian, jalan, plasa, pagar beton dan sebagainya; maupun elemen lunak seperti tanaman dan air sebagai unsur pelembut dalam lansekap dan merupakan wadah aktifitas masyarakat yang berbudaya dalam kehidupan kota.
Fungsi ruang terbuka dapat dijabarkan sebagai berikut:
   Fungsi umum:
 Tempat bersantai.
 Tempat komunikasi sosial.
 Tempat peralihan, tempat menunggu.
 Sebagai ruang terbuka untuk mendapatkan udara segar dengan
lingkungan.
 Sebagai pembatas atau jarak diantara massa bangunan
   Fungsi ekologis:
 Penyegaran udara.
 Penyerapan air hujan.  Pengendalian banjir.
 Memelihara ekosistem tertentu.  Pelembut arsitektur bangunan.



Menurut Harvey S. Perloff (1969) open space pada pembentukannya mempunyai
fungsi:






     Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara ke dalam bangunan terutama
bangunan tinggi di pusat kota.
    Menghadirkan kesan perspektif dan vista pada pemandangan kota (urban
scene), terutama pada kawasan padat di pusat kota.
     Menyediakan area rekreasi dengan bentuk aktifitas yang spesifik.
     Melindungi fungsi ekologis kawasan.
     Memberikan bentuk sold-void kawasan kota.
     Sebagai area cadangan bagi pengguna dimasa mendatang (cadangan area
pengembangan).



Dilihat dari fungsi ruang terbuka tersebut manfaat ruang terbuka baik secara fisik
perkotaan yang berkaitan dengan fungsi ekologi maupun secara sosial mempunyai arti penting terhadap keberlangsungan kota itu sendiri.



Dalam aspek visual, ruang terbuka dapat diolah dengan membentuk kesan
keterlingkupan dan unsur bangunan disekelilingnya maupun dengan unsur natural seperti tata hijau membantu pembentukan keterlingkupan pada ruang terbuka. Keterlingkupan dicapai pada skala perbandingan tertentu yang telah disebut pada pembahasan elemen tata massa dan bentuk bangunan di atas. Akan tetapi kualitas visual dari ruang terbuka menurut Alexander et al. (1977) tidak harus dicapai dengan keterlingkupan ruang. Misalnya ketika orang merasa nyaman pada pantai yang terbuka. Keterlingkupan menciptakan rasa aman dan lebih pribadi, pada ruang terbuka penataan tata hijau dan street furniture maupun lanskap sangat berperan dalam menciptakan rasa tersebut.



Bentuk ruang terbuka bermacam-macam seperti telah disebutkan diatas. Pada ruang
terbuka di Indonesia, kecenderungan yang ada adalah pemanfaatan ruang terbuka khususnya sebagai tempat berinteraksi sosial terjadi pada pola ruang terbuka linear, dan alur sirkulasi terutama sirkulasi perkampungan memegang peranan penting dari konsep ruang terbuka tersebut.





2.4.5      Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)
Untuk waktu yang lama perencanaan untuk pejalan kaki di dalam rancang kota
terabaikan, ketika keberadaan shopping mall pada pusat kota tumbuh subur pejalan kaki menjadi faktor utama dari elemen perancangan kota. Mereka adalah suatu sistem yang nyaman sebagaimana elemen pendukung perbelanjaan dan juga tenaga hidup pada ruang perkotaan.



Sistem jalur pejalan kaki yang baik dapat mengurangi ketergantungan dengan
kendaraan bermotor, meningkatkan perjalan dalam pusat kota , mempertinggi aspek lingkungan hidup dengan memperkenalkan sistem skala manusia, menciptakan
kegiatan perbelanjaan dan pada akhirnya membantu perbaikan kualitas udara.



Pentingnya kegiatan pejalan kaki sebagai elemen dari perancangan kota pada saat ini
muncul setelah adanya konsep New Urbanism yang menempatakan hubungan jarak tempuh pejalan kaki dengan transit point sebagai bentuk dasar konsep rancang kota. Walaupun konsep tersebut sudah ada pada awal abad 20, akan tetapi permasalahan yang ada dari faktor sosial ekonomi dan pelestarian lingkungan membuat konsep tersebut menjadi penting untuk diangkat dan dikembangkan lagi secara lebih luas. Dasar dari konsep rancang kota tersebut adalah jarak tempuh pejalan kaki orang dewasa normal selama 5 menit atau + 400m terhadap transit point yang dapat mempengaruhi elemen-elemen perkotaan contohnya adalah; peruntukan lahan tempat tinggal, ruang umum, akses baik akses pejalan kaki itu sendiri maupun kendaraan bermotor, besaran blok, aspek visual kota maupun aspek lingkungan alam yang berhubungan dengan ruang fisik kota.



Kegiatan perbelanjaan atau retail berperan sangat besat terhadap keberlangsungan
pejalan kaki. Menurut Amos Rapoport (1977) : dilihat dari kecepatan rendah pejalan kaki, terdapat keuntungan karena dapat mengamati lingkungan sekitar dan mengamati obyek secara detail serta mudah menyadari lingkungan sekitar. Dari kondisi pejalan kaki tersebut keberadan fungsi retail sangat mendukung keberlangsungan pejalan





kaki pada jalur pergerakannya. Secara psikologis pengalihan arah visual dalam
mengamati lingkungan sekitar yang tidak monoton dan atraktif dapat menurunkan tingkat kebosanan dalam melakukan pergerakan dengan jalan kaki.



2.4.6      Pendukung Kegiatan (Activity Support)
Pendukung kegiatan merupakan suatu elemen kota yang mendukung dua atau lebih
pusat kegiatan umum yang berada di kawasan pusat kota yang mempunyai konsentrasi pelayanan yang cukup besar. Keberadaannya tidak terlepas dari kegiatan- kegiatan utama pada suatu lokasi yang dapat menghubungkan kegiatan utama tersebut. Pendukung kegiatan tidak hanya bersifat horizontal pada ruang luar akan tetapi juga berada pada kegiatan vertikal pada suatu ruang dalam atau bangunan seperti peruntukan lahan campuran (mixed use).



Keberadaan pendukung kegiatan tidak terlepas pada kegiatan yang diarahkan pada
bentuk keberlangsungan (continuity), bersifat hidup (livability) dan kegembiraan atau kesenangan (excitement). Bentuk-bentuk pendukung kegiatan dapat berupa elemen fisik kota seperti tata ruang luar, street furniture dan peruntukan lahan yang menunjang hubungan pada kegiatan utama kota. Dapat juga diarahkan pada kegiatan yang berhubungan dengan bagaimana kenyamanan maupun keberlangsungan secara psikologis dapat dicapai untuk mendukung pergerakan pada jalur pencapaian pada dua atau lebih pusat-pusat kegiatan umum pada suatu kota. Pada jalur pedestrian, kualitas penataan street furniture, penghijauan, pavement, signage dan tampilan dan penataan bangunan yang membingkai ruang visual pejalan kaki dan sebagainya, mempengarruhi keberlangsungan suatu kegitan pergerakan tersebut.



Elemen-elemen fisik ini merupakan salah satu bentuk dari pendukung kegiatan
tersebut. Bentuk lain yang penting dari pendukung kegiatan adalah suatu kegiatan
yang      dapat      memberikan       keberlangsungan    secara      psikologis      dan      dapat
menghubungkan kegiatan-kegiatan utama yang ada, kegiatan tersebut sekarang ini yang menjadi penting adalah kegiatan retail baik yang diarahkan pada fungsi kegiatan





di dalam bangunan sepanjang alur pergerakan maupun pada ruang terbuka yang dapat
berupa pedagang kaki lima.



Pendukung kegiatan sebagai salah satu elemen perancangan kota sangat berkaitan
dengan pertumbuhan fungsi-fungsi kegiatan umum ruang kota dimana menurut Aldo Rossi (1982) kota itu sendiri terbentuk dengan adanya konsentrasi elemen-elemen fisik spasial yang selalu tumbuh dan berkembang dan karena adanya interaksi kegiatan manusia yang terakumulasi pada satuan waktu yang tidak terbatas. Dengan adanya pendukung kegiatan ini diharapakan mampu menciptakan ruang kota yang hidup, berkelanjutan, dan mampu menintregrasikan dan menjadi penghubung kegiatan utama kota. Contoh kasus keberadaan pendukung kegiatan seperti di Jalan Malioboro Jogjakarta. Magnet kegiatan utama adalah pada Stasiun kereta api Tugu di ujung utara jalan dan Kompleks keraton maupun bangunan penting sekitarnya di ujung selatan jalan tersebut. Keberadaan fungsi retail pada bangunan sepanjang jalan dan keberadaan kaki lima dan juga perancangan street furniture yang kontekstual merupakan suatu bentuk pendukung kegiatan yang membuat suasana jalan Malioboro menjadi hidup terutama faktor keberlangsungan pergerakan pajalan kaki lima pada jalan tersebut. Dari contoh kasus tersebut, perancangan pendukung kegiatan harus memperhatikan kontekstual lingkungan, karakteristik fisik maupun non fisik dan hubungannya terhadap elemen-elemen leinnya terutama pejalan kaki sebagai pengguna ruang utama dan pemberi kehidupan sosial kota.



2.4.7      Tata Informasi (Signage)
Tata informasi menjadi elemen visual yang penting dalam ruang kota. Keberadaanya
mempengaruhi pengguna jalan baik pejalan kaki maupun pengendara kendaraan dengan memberikan bentuk untuk dikenali menjadi tujuan utama dari tata informasi tersebut. Bentuk-bentuk tata informasi dapat berupa papan reklame komersial, penunjuk jalan, tanda-tanda lalulintas atau informasi umum bagi pengguna jalan setempat.







Kevin Lynch dalam Managing the Sense of Region (1976 hal. 30-31) menyatakan
bahwa penataan informasi harus dapat dikenali (legible), teratur, mudah dibaca (readible), adanya kesinambungan antara bentuk dan pesan (congruent) dan pemasangan pada daerah yang tepata sesuai dengan isi pesan yang akan ditujukan (rooted).



Keberadaan tata informasi sangat penting terutama dengan perkembangan kondisi
ekonomi suatu kota, tata informasi dapat menjadi alat untuk mempromosikan suatu produk atau menjadi tanda suatu tempat usaha untuk dapat dikenali kepada masyarakat pemakai ruang publik kota. Dengan keberadaanya tentunya secara fisik mempengaruhi ruang kota dan hubungannya dengan elemen ruang kota lainnya seperti muka bangunan, ruang pedestrian, street furniture, dsb. Halprin (1980:68) : Ada area papan-papan tanda reklame yang luas yang mengalihkan jalan-jalan kota kita menjadi sebuah kesemrawutan, tidak berakhir, kejelekan yang linear. Pengaturan papan tanda reklame maupun tanda-tanda informasi umum sudah banyak diatur sesuai dengan fungsi dan kegiatan ruang dalam berbagai panduan perancangan kota (guidelines). Pengaturan berupa ukuran dimensi, kesesuaian dengan konteks lingkungan baik bentuk, warna, pencahayaan, material atau juga dengan tema suatu daerah atau lingkungannya. Keberadaannya juga tidak menggangu fungsi lain seperti pengguna jalan atau fungsi infrastruktur kota.



Pengaruh yang ditimbulkan secara positif dari pengaturan tata informasi adalah
kontinuitas visual, harmoni dengan elemen perkotaan yang lain atau juga dapat memberikan kesan skala manusia pada pengguna jalur pedestrian. Ia dapat menaungi dan memberikan ruang kanopi pada jalur pejalan kaki. Pada pengguna kendaraan bermotor penempatan tata informasi dapat memperlambat laju kecepatan dengan mengalihkan sejenak perhatian pengendara.



Menurut Yoshinobu Ashihara (1983) penampilan ruang luar dipengaruhi dua hal
yaitu ruang luar depan bangunan sebagai raut muka utama/primer (primary profiles)





dan sesuatu yang melekat dan menonjol pada bangunan yang bersifat sementara
disebut sebagai raut muka sekunder (secondary profiles). Disini signage/signboard merupakan secondary profiles.



Kualitas ruang yang dilihat oleh pejalan kaki pada kondisi dekat secara paralel
dengan garis bangunan akan didominasi oleh secondary profiles dan muka bangunan tidak terlihat tetapi semakin ia bergerak jauh dari tepi jalan muka bangunan mulai memasuki jangkauan pandangan pengamat. Disini kondisi perletakan signboard tegak lurus dengan muka bangunan. Dengan adanya arah pengamatan dan keberadaan signboard, dimensi jalan juga berpengaruh. Semakin sempit jalan keberadaan signboard sebagai bagian yang menonjol keluar pada bangunan semakin mengaburkan tampak muka bangunan tersebut (façade).




2.4.8      Pelestarian (Preservation)
Preservasi tidak selalu berhubungan dengan struktur dan tempat-tempat yang
memiliki arti sejarah. Di dalam pandangan yang lebih luas ia juga dapat berhubungan dengan segala struktur dan tempat-tempat eksisting baik sememtara atau permanen dalam segi ekonomi mempunyai sifat yang vital dan signifikan secara budaya. Bentuk pelestarian selain ditujukan kepada bangunan atau tempat-perkampungan atau ruang umum perkotaan (seperti plaza, alun-alun tempat perbelanjaan, dsb). Pelestarian
terhadap bentuk kegiatan-kegitan ruang umum yang signifikan juga perlu diadakan.



Pelestaraian tidak anti kepada perubahan, ia tidak menganjurkan untuk membangun
kembali bangunan sejarah yang telah hancur, menampilkan tema historis ke dalam bangunan baru atau menyimpan semua bangunan tua hanya untuk pelestarian tersebut. Pelestarian sejarah mengenalkan desain yang baik dari masa lampau dan menempatkan peristiwa yang luar biasa dari masa lampau yang terjadi. Ia juga memelihara lingkungan dengan karakteristik yang khusus dan menganjurkan desain







baru yang bagus, apakah hal tersebut di dalam konstruksi bangunan baru atau
modifikasi dari bangunan yang telah ada berkesesuaian dengan yang lama.



2.5 Contoh Pelestarian Kawasan Kota Lama
2.5.1      Kota Tua Jakarta
Pemerintah DKI Jakarta, mengembangkan kembali Kota tua Jakarta untuk
menghidupkan kembali aktivitas-aktivitas komunitas yang dulu Kota tua Jakarta ini menjadi pusat perekonomian pada saat Pemerintahan Hindia-Belanda. Penyebab penurunan kawasan Kota tua Jakarta ini diantaranya adalah bangunan tua bersejarah yang tidak terawat, ekonomi kawasan yang menurun, jalur pedestrian yang tidak nyaman, ruang terbuka yang belum tertata. Dari penyebab-penyebab tersebut pemerintah DKI Jakarta membuat strategi revitalisasi atau membangkitkan kembali kegiatan yang ada disana disantaranya adalah pengembangan komunitas kreatif, adaptasi bangunan lama untuk fungsi baru dengan berbagai perubahan, penyisipan bangunan pada lahan kosong dalam lingkungan pelestarian kota tua.Manfaat dari semua itu membuat Kota Tua di Jakarta semakin diminati warga Kota Jakarta pada khususnya dan wilayah sekitar jabodetabek.



2.5.2 Kota Tua Tanjong Pagar (Singapura)
Kota Tua Tanjong Pagar yang berada di Singapura dulunya merupakan
perkampungan para pelaut dan nelayan.. Awalnya kawasan Kota tua Tanjong Pagar ini tidak terawat, lingkungannya pun tercemar oleh sampah, dan dijadikan kawasan peredaran narkoba, lalu Pemerintah Singapura pun akhirnya melakukan tindakan, yaitu penataan ulang zoning dan land use kawasan, pengembangan ekonomi, dan adaptasi bangunan lama untuk fungsi baru. Kebanyakan bangunan lama di tanjong pagar bernuansa eropa.












Gambar 2.1 Kota Tua Tanjong Pagar



2.5.3      Kota Tua Tianjin (China)
Kota Tianjin adalahkota terbesar ke-3 di China, Kota Tianjin pada masa dulu dikenal
dengan nilai-nilai sejarah dan budaya. Letak Kota Tianjin yang dilewati sungai Hai He membuat kesan keindahan tersendiri. Bangunan-bangunan sejarah yang sudah tak terawat, membuat pemerintah Cina mengambil tindakan untuk melestarikan bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Kota Tianjin, apalagi permasalahan yang pernah terjadi adalah bangunan-bangunan tua yang tidak terawat, dan lingkungan di sepanjang tepian sungai yang belum tertata. Pemerintah Cina mencoba untuk menjadikan kawasan kota lama Tianjin sebagai kawasan tepi sungai (riverfront) sebagai landmark kota dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kesejarahan dan budaya dari Kota Tianjin. Selain itu Pemerintah Cina juga menarik perhatian para investor untuk mau menanamkan modalnya di kawasan ini. Kawasan kota lama Tianjin juga dirancang untuk menjadi kawasan High Technology Community yang berbasis ekologi, dengan menerapkan kawasan wisata budaya, kawasan wisata perkotaan, dan kawasan kegiatan perekonomian.
















































0 komentar:

Posting Komentar